Harapan Petani Miskin terhadap Perhutanan Sosial

Swary Utami Dewi

OPINI, mediakita.co – Hidup harus dijalani dengan usaha dan perjuangan. Selain itu, pergulatan untuk bertahan hidup tidak berarti harus mengabaikan yang lain. Bahkan, rasa senasib seperjuangan mampu melahirkan kebersamaan. Inilah beberapa inspirasi yang saya pelajari saat mengikuti verifikasi teknis (vertek) secara daring dalam rangka mengecek usulan Perhutanan Sosial kelompok tani hutan, pada 25 Maret 2021. Sebagai informasi, vertek daring ini yang kedua kali saya ikuti di masa pandemi. Sebelumnya pada 2020 saya juga terlibat memverifikasi usulan kelompok tani hutan (KTH) di Bojonegoro, Jawa Timur.

Untuk kali ini, para petani yang saya temui secara virtual adalah dari KTH Wono Lestari Makmur. KTH ini merupakan kumpulan petani yang sudah lama menggarap lahan Perhutani dii Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Mereka tinggal di Desa Kaligambir dan Desa Sumbersih yang letaknya berdekatan dengan kawasan hutan.

Saat berinteraksi singkat dengan para petani ini, saya mendapatkan banyak pembelajaran hidup. Salah satunya dari Sulihah. Petani perempuan berusia 49 tahun ini sudah lama menjadi petani penggarap di kawasan hutan yang diampu Perhutani di Blitar bersama sang suami. Pasangan ini tinggal di Desa Kaligambir. Mereka berdua selalu berjalan kaki ke lahan untuk “mbaon” (berladang). Waktu yang ditempuh sekitar setengah jam melewati jalan yang tidak mulus. Seringkali tanah menjadi berlumpur dan becek, utamanya saat musim penghujan.

Apakah Sulihah mengeluh lelah? “Petani memang harus berpanas-panas dan berlumpur-lumpur,” ujarnya. Semua itu harus dilakoni untuk bertahan hidup. Masuk menggarap ke wilayah Perhutani merupakan satu-satunya pilihan logis karena sejak kecil ia terbiasa bertani. Dan lokasi Perhutani sangat dekat dari desa tempat tinggalnya. Karena itulah ia dan suami menggarap di lokasi tersebut. Sulihah dan para petani lainnya memanfaatkan kekosongan lokasi lahan ataupun melakukan penanaman tanaman sela di antara jati dan sengon yang ditanam Perhutani.

Sebagai cara untuk bertahan hidup, maka biasanya pilihan tanaman para petani KTH Woni Lestari Makmur adalah tanaman palawija. Utamanya jagung, diselingi dengan ketela pohon ataupun kacang hijau. Terkadang ada juga yang bertanam padi. Semua ini merupakan strategi penghidupan. Budi Wiyono, yang berusia 30an, menceritakan ia sudah lama mengelola lahan seluas lebih kurang 1 hektar. Ia membagi dua petaknya. Sebagian untuk bertanam padi, sebagian untuk jagung. Jika padi selesai dipanen, maka ganti ia bertanam kacang hijau. Jika jagung sudah selesai, giliran ketela pohon ditanam. Karena musim penghujan waktunya susah ditebak sekarang, Budi harus memastikan sebisa mungkin semua tanaman bisa tumbuh dengan baik saat musim hujan datang.

Apakah semua hasil panen dijual? Budi menggeleng. Ia menjelaskan untuk jagung dan kacang hijau memang biasanya dijual sebagian besar. Namun, ada sebagian kecil yang diolah menjadi beras jagung untuk cadangan pangan. Padi rata-rata untuk kebutuhan sendiri. Demikian juga ketela. Jika sebagian hasil panen jagung diolah menjadi beras jagung, maka ketela disulap menjadi gaplek. Beberapa petani juga ada yang menanam variasi tanaman lain, misalnya pisang, cabai dan berbaga jenis sayuran dan buah-buahan. Semua ini dilakukan sebagai strategi penghidupan di mana harus ada variasi pangan dan yang penting lagi cadangan pangan yang bisa disimpan lama untuk dikonsumsi saat ada kemarau panjang atau gagal panen.

“Saya tahun ini gagal panen jagung dan padi karena hama tikus. Susah dibasminya hama ini. Saya sudah coba berbagai cara,” tutur Budi lirih. Kejadian gagal panen ini juga dialami beberapa petani lain, termasuk Sulihah. Sulihah yang lahannya tidak begitu luas, kisaran 0,25 hektar, menceritakan hama tikus telah memusnahkan jagungnya. “Gagal total, Bu,” ceritanya sambil tetap tersenyum. Padahal untuk membeli bibit dan pupuk, suaminya harus berhutang. Apakah sedih yang dirasakan keduanya? Budi menjawab dengan senyum. Sementara Sulihah berujar bahwa apapun itu, harus dilakoni dengan sabar. “Jalani saja, Bu. Sabar.” tuturnya perlahan.

Kepadatan penduduk yang begitu tinggi di Jawa memang membuat lahan begitu langka. Khusus bagi petani kecil, setiap jengkal tanah adalah sangat berharga. Berharga karena merupakan tempat sandaran hidup mereka. Rata-rata tanah yang bisa diolah, jikapun ada, maksimal 0,25 hektar. Jarang sekali petani kecil atau gurem mengolah lahan lebih luas. Jikapun ada beberapa, seperti yang saya temui di KTH Wono Lestari Makmur, lahan itu tidak diolah sendiri. Biasanya dikelola beberapa keluarga yang masih saudara dekat. Ada satu orang yang berbagi lahan dengan tetangganya. Alasannya begitu menggugah. “Tanah susah, Bu. Tetangga saya miskin. Saya juga miskin. Kebetulan lahan saya agak luas ya saya gunakan bersama.” Sebagai tambahan, beberapa orang pengusul juga merupakan janda yang mengandalkan hidup di lahan garapan untuk kebutuhan sehari-hari.

Di akhir vertek di mana saya bisa berbincang dengan puluhan petani, saya merasa ada yang membekas. Ada rasa haru, juga bahagia. Program Perhutanan Sosial yang menyediakan kesempatan penggunaan lahan secara legal di kawasan hutan bagi para petani setempat yang miskin, ternyata memang menberikan peluang berharga bagi para petani untuk bisa tetap bertahan hidup. Bahkan mereka berharap program ini merupakan langkah awal untuk membantu mereka agar bisa lepas dari jerat kemiskinan dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Penulis adalah Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial(TP2PS))

Pos terkait