Hidup Sendiri di Gubuk Reot, Mbah Sukini Tak Mau Berpangku Tangan

Pekalongan, Mediakita.co- Sukini di usia senjanya, ia masih giat mencari nafkah dengan menjadi ‘rewang’ pedagang nasi di salah satu kerabatnya, tanpa mau berpangku tangan merepotkan orang lain. meski memiliki seorang putra, ia tak mau ikut bersama anaknya yang sudah berkeluarga, dan lebih memimilih hidup sendiri di gubuk reotnya. 

 Berteman sepi telah menjadi bagian dari hidup Sukini, nenek tujuh puluh tahun yang tidak sengaja kami temui siang itu di depan rumahnya. Terhitung empat tahun setelah ditinggal mati oleh sang suami, Mbah Sukini, sapaan akrabnya, menjalani kehidupannya seorang diri. Meski memiliki satu putra yang tinggal di Tirto, Mbah Sukini sama sekali tidak berniat ikut menumpang di rumah putra semata wayangnya tersebut. Bukan tanpa alasan, Sukini hanya berusaha berpegang pada pendiriannya selama ini, yaitu tidak mau merepotkan orang lain selagi masih sanggup mandiri.

Hanya puluhan meter dari bibir pantai utara Pekalongan, rumahnya berdiri nyaris roboh di antara tambak-tambak ikan setempat. Betapa tidak, pasalnya, rumah yang sudah ia tempati bersama keluarga sejak tiga puluh lima tahun silam ini merupakan salah satu korban dari bencana banjir rob. Dikelilingi oleh genangan air kumuh yang nyaris berwarna hitam pekat, ditambah dengan pondasi yang tidak lagi kokoh, seakan dipaksakan untuk tetap berdiri.

Kira-kira ukuran bangunan rumahnya hanya berkisar 3×6 meter. Tembok yang terbuat dari anyaman bambu itu pun terlihat sangat rapuh. Hanya dinding depannya saja yang terbuat dari campuran batu bata-semen, itupun tak luput dari retakan-retakan yang tersebar di beberapa permukaan tembok.  Sekilas tak terlihat perabotan selayaknya rumah-rumah warga pada umumnya. Hanya ada beberapa buah kursi terbuat dari kayu yang sudah lapuk termakan usia dan satu amben (sejenis tempat tidur yang terbuat dari kayu) yang terdapat di kamar. Tak ada alat-alat masak yang memenuhi dapurnya. Sisanya adalah barang-barang usang yang sudah tak terpakai lagi. “Perabot rumah tangga kami sebagian besar rusak karena sudah tua, sebagian lagi sudah tak layak pakai karena terbawa aliran air saat banjir.” Tuturnya saat ditanya perihal kondisi dalam rumah.

Tak ada raut sedih sedikitpun dari wajahnya. Nenek yang dikenal ramah terhadap masyarakat ini selalu tersenyum. Bahkan suaranya masih terdengar jelas dan ceria, begitu pula dengan gerak-gerik tubuh mungilnya. Meski kerutan-kerutan pada kulitnya sudah terlihat jelas. bersyukur, alat-alat inderanya sebagian besar masih berfungsi dengan baik, sehingga masih mudah untuk berkomunikasi.

Bacaan Lainnya

Saat ditanya aktifitas hariannya, beliau hanya menjawab bahwa hidupnya akan segera berakhir, sehingga sisa waktu ini akan ia habiskan untuk mendekatkan diri pada Sang Khaliq. Bersama kerabat-kerabatnya, ia rajin mendatangi majelis-majelis ilmu dan pengajian, mulai dari mushola di tempatnya tinggal, pengajian rutinan di rumah-rumah warga, hingga pada pengajian umum setiap Jumat Kliwon bersama Habib Luthfi dan setiap hari selasa bersama Kyai Taufik Wonopringgo.

Perempuan yang hanya mengenyam bangku pendidikan sampai kelas 3 SD ini, dulunya berprofesi sebagi pedagang jamu. Seiring bertambah usia, terlebih dengan kondisi yang serba susah, membuatnya berhenti dari aktifitasnya itu. Sebagai gantinya, Mbah Sukini berusaha mengais rupiah melalui pekerjaan barunya sebagai ‘rewang’ penjual nasi di salah seorang kerabatnya sendiri, yakni Mbak Turip, warga desa Boyongsari, Pekalongan Utara. Melalui pekerjaan sederhananya itu, beliau dapat mengantongi kisaran lima puluh ribu rupiah saja tiap minggunya. Gajinya  yang pas-pasan ini digunakan untuk biaya transport mengikuti pengajian. Selebihnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan perutnya saja.

Atas kebaikan kerabatnya ini pula, Mbah Sukini diberi kesempatan untuk tinggal dirumahnya setiap malam. Namun, lagi-lagi perasaan ‘pakiwuh’nya selalu muncul, hingga akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal pada malam hari saja, sisanya, pada pagi sampai sore hari ia memilih pulang ke rumahnya sendiri. Meskipun tak banyak yang bisa dilakukannya di rumah tua itu, karena niatnya adalah menjaga ‘gubug’nya agar tetap terlihat berpenghuni. Beliau berusaha menjaga rumah agar tetap bersih, sisanya beliau menghabiskan waktu untuk duduk di kursi depan rumah, sambil memandangi aktifitas orang-orang yang lalu lalang di sekitar.

“Dulu, setiap sore saya pergi ke rumah Mbak Turip untuk mulai menjadi ‘rewang’, sekalian tidur disana hingga pagi. Barulah saya kembali ke rumah sendiri sampai sore lagi.” Jelas lansia kelahiran Wonopringgo ini. Tapi untuk beberapa waktu terakhir, ia lebih sering menghabiskan waktu di kediaman kerabatnya tersebut lantaran kodisi rumah yang kian parah. Hanya sesekali ia menyempatkan jalan-jalan menengok rumahnya.

“Uripku wis byasa koyo ngene. Alhamdulillah, sing penting diparingi sehat waras…” Ujarnya sambil tersenyum simpul diakhir obrolan kami siang itu. (MK 013)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.