Kisah Sapi di Indonesia

Kisah sapi di Indonesia
Kisah sapi di Indonesia

“Kisah Indonesia dari eksportir menjadi importir daging sapi. Keseriusan menanganinya hanya terjadi di masa lalu.”

JAKARTA, mediakita.co — Pada 1917 pemerintah Hindia Belanda mengimpor sapi Ongole secara besar-besaran dari India. Untuk menghasilkan sapi unggul, pada 1936 pemerintah Hindia Belanda mengharuskan semua sapi jantan Jawa dikebiri, sedangkan sapi betinanya harus dikawinsilangkan dengan sapi Ongole yang telah diimpor. Dari kebijakan ini setidaknya telah banyak diperoleh sapi-sapi unggul hasil persilangan di berbagai daerah.

Upaya mengembangbiakkan sapi juga dilakukan sejak awal dekade 1950-an. Kisahnya dimulai ketika Presiden Sukarno menggarap tahapan pembangunan bernama Rencana Kesejahteraan Istimewa pada 1950. Saat itu ahli ternak asal Denmark Prof. B. Seit tengah memperkenalkan metode inseminasi buatan kepada para dokter hewan di Indonesia. Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan (FKH LPP) Bogor, tempat Seit bekerja, lantas diserahi tugas pemerintah untuk mendirikan stasiun Inseminasi Buatan di beberapa wilayah sentra peternakan sapi susu.

Para dokter hewan yang dilatih Seit lantas berpencar di berbagai daerah di Jawa dan Bali untuk mendirikan stasiun inseminasi buatan. Ada yang berangkat ke Ungaran dan Kedu di Jawa Tengah, Pakong dan Grati di Jawa Timur, Cikole di Jawa Barat, dan Baturati di Bali. Pun FKH LPP Bogor sendiri difungsikan sebagai stasiun untuk melayani daerah Bogor dan sekitarnya. Para dokter hewan itu bertugas melakukan inseminasi.

“Di stasiun-stasiun itu para dokter hewan telah melatih beberapa orang manteri hewan dan penyuluh untuk pekerjaan tangan di dalam pembuahan buatan,” tutur Seit dalam pidato pengukuhan guru besarnya berjudul Pembuahan Buatan dan Kemungkinannya di Indonesia di Universitas Indonesia pada 1957, seperti dikutip dari Historia.id

Bacaan Lainnya

Sayangnya program ini tak intensif dilakukan. Pelayanan inseminasi buatan sifatnya hilang timbul. Akibatnya masyarakat tak cukup menaruh kepercayaan. Program Rencana Kesejahteraan Istimewa juga hanya bertahan dua tahun.

Namun demikian balai-balai inseminasi buatan yang didirikan telah berjasa membantu mengembangbiakkan sapi, meskipun baru sebatas sapi penghasil susu.

Pemerintah Orde Baru menganggap program inseminasi buatan sebagai langkah strategis untuk mendongkrak perkembangbiakan sapi peternakan rakyat.

Keberhasilan ekspor telah memicu pemerintah untuk menyediakan lebih banyak sapi yang siap dipasok ke luar negeri. Maka pemerintah mencoba untuk menggalakkan inseminasi buatan di berbagai daerah.

Evaluasi pelaksanaan inseminasi buatan dilakukan pada 1970. Pemerintah menyimpulkan, semen (sperma) cair perlu diganti dengan semen beku yang lebih awet dipakai dan dibawa ke berbagai lokasi inseminasi. Bak gayung bersambut, pemerintah Selandia Baru, pada 1973, berbaik hati memberikan sumbangan semen beku secara cuma-cuma kepada pemerintah Indonesia.

Tak bisa dipungkiri, inseminasi buatan telah berhasil mendongkrak perkembangbiakan sapi dalam negeri sejak dekade 1960. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, ekspor sapi potong pada tahun 1968 sebanyak 34.541 ekor. Jumlah ini naik menjadi 72.490 ekor pada tahun 1970.

Untuk menyebarluaskan sapi-sapi jenis unggul dan sapi-sapi hasil persilangan, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan Dan Kesehatan Hewan.

Di dalamnya termaktub upaya pemerintah untuk menyebarkan ternak secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Istilahnya “pewilayahan ternak”.

Usaha mengimpor sapi unggulan kembali dilakukan ketika Presiden Soeharto dengan mendatangkan sapi-sapi unggul dari luar negeri, terutama dari Australia. Di Tapos, sapi-sapi itu hendak dikawinkan dengan sapi-sapi lokal Indonesia sehingga didapat bibit berjenis sapi unggul.

“Maka saya datangkan sapi-sapi unggul dari luar negeri untuk dikembangkan dan disilangkan dengan sapi-sapi yang ada di Indonesia seperti: Persilangan antara sapi Brahman Australia dengan jenis Anggus, hasil silangannya diberi nama ‘Brangus’. Sapi Santra Gertrudis disilangkan dengan sapi Madura, menghasilkan jenis sapi ‘Matralis’. Begitu juga dengan kambing Suffolk Australia disilangkan dengan Gibas menghasilkan ‘Safbas’ dan kambing Dorset Merino Australia disilangkan dengan Gibas menjadi ‘Dorbas’,” tuturnya dalam biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Tahun 1978 adalah tahun terakhir Indonesia mampu mengekspor sapi potong. Jumlahnya hanya 400 ekor saja. Sejak saat itu peternakan rakyat lebih banyak memasok kebutuhan daging dalam negeri saja. Bahkan keran impor daging dari Australia mulai dibuka.

Tapos tampaknya menginspirasi pengusaha ternak untuk melakukan impor bibit. Tercatat mulai tahun 1990, Indonesia mulai melakukan impor sapi bakalan.

Menurut ahli peternakan dari Universitas Padjajaran, Sri Rahayu, impor sapi bakalan mulai dilakukan sejak tahun 1990 sejumlah 8.061 ekor. Dua belas tahun kemudian angka ini melonjak drastis hingga 429.615.

Karena terseret krisis ekonomi, pemerintah pernah mengurangi impor sapi bakalan pada periode 1997 – 2001. Hasilnya, sapi-sapi lokal terkuras oleh permintaan sehingga dalam waktu yang pendek, populasi sapi menurun drastis. Seperti tak punya pilihan lain, pada 2002 Indonesia kembali meningkatkan impor sapi bakalan guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi.

Indonesia sangat bergantung dengan impor daging asal Australia. Australia merupakan sumber dari 90,06 persen impor sapi hidup dan 46,70 persen impor daging sapi dan jeroan. Selandia Baru merupakan sumber impor 32,52 persen daging sapi dan jeroan. Negara-negara lain yang termasuk eksportir daging sapi ke Indonesia, dengan jumlah yang lebih kecil, adalah Amerika Serikat dan Kanada.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.