Membangun Pengawasan Pemilu yang Partisipatif

Dewi Retnowati, S.E.

OPINI, Mediakita.co – Perhelatan pesta demokrasi Negara Indonesia akan dilaksanakan pada kembali pada tahun 2024.  Pemerintah, DPR dan KPU telah menyepakati pelaksanaan pemungutan suara Pemilu serentak 2024 pada tanggal 14 Februari 2024 dan pemungutan suara Pilkada serentak pada tanggal 27 November 2024.  Keputusan ini disepakati pada Rapat Dengar Pendapat 24 Januari 2022 yang lalu.

Telah menjadi bahasan bersama bahwa tingkat kompleksitas dan tantangan dalam perhelatan pesta demokrasi ini begitu tinggi. Pemilu serentak, seperti yang telah dilaksanakan pada tahun 2019 yang lalu, dimana pemilih harus memilih 5 surat suara, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPR  provinsi, DPR kabupaten/kota. Meskipun kedua pemilihan tersebut jatuh pada waktu pelaksanaan yang berbeda,  namun tentunya keduanya akan mengalami irisan jadwal tahapan dalam waktu yang bersamaan. Dan akan menjadi kompleks jika tidak dimitigasi sejak dini (Kaharuddin, detikNews 2022).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, seperti dalam amanat UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, yang diatur dalam pasal 89 ayat 1 yaitu pengawasan penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Bawaslu. Bawaslu sendiri memiliki tugas diantaranya adalah 1) menyusun standar tata laksana pengawasan penyelenggaraan pemilu untuk pengawas Pemilu di tiap tingkatan, 2) melakukan pencegahan terhadap pelanggaran dan sengketa proses Pemilu, 3) mengawasi persiapan Penyelenggaraan Pemilu dan 4) mengawasi pelaksanaan tahapan Penyelenggaran Pemilu dan masih ada tugas pengawasan yang lainnya. Tentunya tanggungjawab pelaksanaan pemilu yang tersentral pada Bawaslu ini   dapat lebih ditingkatkan kualitasnya pada pola pengembangan organisasi dan kelembagaan yang lebih terbuka dan partisipatif. Dengan adanya pola yang lebih terbuka bagi partisipasi publik, tentunya akan dapat mengurangi beban pengawasan dalam tahapan-tahapan pemilu yang sedang berlangsung.

Pengawasan pada Pemilu serentak 2024 tentunya memerlukan niat dan rasa kepemilikan bagi semua pemangku kepentingan. Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pengawas Pemilu tentunya memiliki keterbatasan, terutama dalam hal jangkauan wilayah, jumlah personel dan obyek yang diawasi cukup luas dan banyak. Pelibatan partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pengawasan merupakan keniscayaan untuk mewujudkan Pemilu serentak yang lebih berkualitas dan terkontrol. Partisipasi publik adalah jantungnya demokrasi, keterlibatan aktif pblik dalam Pemilu dapat dimaknai bahwa demokrasi elektoral bukan hanya sebagai sarana rotasi kepemimpinan semata. Lebih dari itu juga sebagai momentum dalam mengaplikasikan nilai- nilai kewarganegaraan (Ahmad Doli Kurnia Tandjung, 2021). Ekspresi keterlibatan publik dapat tersebar ke berbagai peran, selain sebagai pemilih dan peserta, masyarakat juga dapat menjadi bagian dari penyelenggara.

Berdasarkan pada pengalaman Pemilu serentak 2019, telah dapat dilihat peta-peta fakta kerumitan yang akan terjadi  pada Pemilu serentak tahun 2024 , yang diantaranya adalah

  1. Jumlah calon pemilih pada Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) bulan Januari 2022 sejumlah 190.626.569 pemilih (Viryan, republika.co.id, 8 Maret 2022). Dan jumlah TPS akan berjumlah 695.105 TPS (Hasyim Asyiari, kabar 24, Mei 2022).
  2. Pemilih akan menerima 3 surat suara (rencana penyederhanaan surat suara dari 5 menjadi 2 lembar). Kriteria surat suara yang akan dibuat adalah surat suara untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden digabung dengan surat suara untuk pemilihan DPR, DPRD Propinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sedangkan surat suara kedua adalah dperuntukan bagi pemilihan DPD. Jumlah surat suara ini memang menjadi sederhana dari sisi jumlah, tetapi juga akan menimbulkan kebingungan dalam mencermati isi surat suara pertama , karena pemilih harus melihat, mengenal dan memilih dengan tingkat kedetilan tertentu.
  3. Perpindahan pemilih dan perubahan demografi penduduk yang lainnya juga masih merupakan problema pergerakan data pemilih yang klasik, bahkan dari semua perhelatan Pemilu, problem data pemilih ini masih menjadi permasalahan krusial. Problem pergerakan DPT akan terus terjadi.
  4. Selain kondisi-kondisi di atas, juga akan banyak terjadi kondisi kerawanan pada masa tahapan sebelum pemilihan, misalnya pada saat kampanye (penggunaan isu-isu politik identitas agama, suku dan ras; penyebaran berita bohong/hoax, praktek-praktek politik uang; praktek-praktek ujaran kebencian; dan ketidak netralan aparatur sipil negara (ASN), TNI/Polri).

Dalam beberapa contoh yang bisa kita lihat dan alami selama beberapa kali perhelatan Pemilu dan Pilkada, hal ini masih akan terus terjadi dengan tingkat keseriusannya sendiri. Segala upaya yang dilakukan untuk mereduksi tingkat kerawanan yang acapkali terjadi masih terus harus ditingkatkan. Belum lagi persoalan polarisasi yang terjadi di masyarakat manakala ada perhelatan pesta demokrasi. Polarisasi ini bahkan bisa terjadi pada saat tahapan persiapan mulai berlangsung, seperti pada tahap penetapan peserta Pemilu, penetapan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dan juga pada pemilihan kepala daerah nanti, juga berlanjut pada tahaan kampanye, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil Pemilu. Polarisasi atau pembelahan keberpihakan masyarakat pemilih bahkan masih terasa terjadi hingga saat ini, setelah hasil Pemilu 2019 ditetapkan.

Untuk itulah, penulis merasa bahwa pengalaman-pengalaman yang terjadi pada Pemilu serentak 2019 hendaknya menjadi pelajaran kita semua. Berbagai kerawanan yang mungkin sekali akan terjadi, seperti dalam contoh diatas adalah bekal penyelenggara Pemilu, dalam hal ini Bawaslu, untuk lebih meningkatkan pengawasannya. Perlunya meningkatkan kapasitas lembaga /organisasi tentunya perlu melihat juga kapasitas-kapasitas manusia nya. Tarik menarik antara kendala dan tantangan yang mungkin terjadi pada pemilu serentak nanti, juga menuntut keprofesionalan individu-individu penyelenggara menjadi sebuah keniscayaan. Jargon SIM-P dalam jajaran Bawaslu haruslah selalu menjadi dasar dalam budaya organisasi dan bekerja. SIM-P menjadi tuntutan logis bagi setiap penyelenggara pengawas. Soliditas, Integritas, Mentalitas dan Profesionalitas yang menjadi ruh dalam bekerja. Dalam hal ini akan mengantarkan Pemilu serentak yang benar-benar pada azasnya yaitu langsung , umum, bebas , rahasia , jujur dan adil. Namun disamping itu target Pemilu yang berkualitas juga tercapai.

Menurut Fahmi dalam Erlis Milta dkk (2015, p.653), yang telah disadur kembali pada tautan http://repo.darmajaya.ac.id/271/3/BAB%20II pengawasan dapat di definisikan sebagai cara suatu organisasi mewujudkan kinerja yang efektif dan efisien serta lebih jauh mendukung terwujudnya visi dan misi organisasi.  Dan menurut Sondang Siagian Atmodiwiryo dalam Satriadi (2016, p.290) pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Sedangkan menurut The Liang Gie (Atmodiwiryo) juga dalam Satriadi (2016, p.290) mendefinisikan  pengawasan sebagai sebuah pemeriksaan, mencocokkan dan mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan serta hasil yang dikehendaki.

Dari semua landasan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal pengawasan terdapat unsur perencanaan, pelaksanaan , dan kontrol atas semua yang telah dikerjakan, memastikan apa yang dikerjakan sesuai dengan rencana dan target hasil, waktu, dan daya upaya yang dikeluarkan dengan cara yang efektif dan efisien.

Sedangkan definisi pemilu yang termaktub dalam UU no 7 tahun  2017 Bab I pasal 1 ayat 1, Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Partisipasi (partisipatif) memiliki definisi menurut Isbandi (2007:27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada dalam masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternativ solusi untuk menangani masalah. Sedangkan partisipatif sendiri adalah sebuah konsep yang berasal dari pelaku partisipasi itu sendiri (misalnya dari masyarakat atau subyek tertentu).

Ulasan beberapa bagian di atas menunjukkan bahwa tingkat kompleksitas dalam  perhelatan Pemilu serentak 2024 dengan berbagai macam pemilihan di dalam tahun yang sama, baik pemilu legislatif, DPD dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dimana tahun 2024 nanti, pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya adalah  pasangan calon yang benar-benar baru. Kompleksitas beriringan juga dengan tingkat pelanggran yang terjadi, seperti contoh yang telah dicatat oleh  Mada Sukmajati  (LKIP Bawaslu 2020 ) pada masa Pemilihan Kepala Daerah 2020 adalah 1489 pelanggaran administrasi, 288 pelanggaran kode etik, 179 pelanggaran pidana dan 1562 pelanggaran hukum lainnya. Kejadian pelanggaran-pelanggaran tersebut tersebar di 32 propinsi dan 270 daerah pemilihan baik di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Kejadian pelanggaran-pelanggaran dengan berbagai bentuknya itu masih mencerminkan pemilihan yang kurang berkualitas.  Dari contoh data-data tersebut, dapat ditarik pembelajaran bahwa tidak bisa tidak peningkatan kapasitas lembaga penyelenggara, terutama lembaga pengawas Pemilu sudah harus dilaksanakan. Seperti dijelaskan bahwa adanya 3 catatan penting tentang urgensi pengawasan Pemilu adalah yang pertama yaitu Pemilu adalah kompetisi politik yang rentan dengan adanya pelanggaran; yang kedua Pemilu yang saat dengan adanya pelanggaran, akan beresiko pada terganggunya pelaksanaan Pemilu yang berintegritas dan hasilnya dapat diterima oleh rakyat, dan yang ketiga adalah untuk menjamin kualitas dan integritas Pemilu diperlukan adanya pengawasan di seluruh tahapan Pemilu oleh Pengawas Pemilu bersama dengan masyarakat ( Herwyn Malonda, 2021).

Seperti dalam definisi pengawasan yang telah diuraikan di atas, ada hubungan erat antara perencanaan dan pengendalian /kontrol. Fungsi pengawasan akan terlihat berkualitas manakala apa yang telah direncanakan (contoh pada tahapan-tahapan Pemilu) dapat dilaksanakan sesuai dengan tenggat waktu dan aturan yang telah disepakati sesuai dengan kenyataan. Hal tersebut dapat dilihat melalui proses kendali/kontrol/pengawasan yang ketat. Dalam pengawasan ada sifat menemu kenali (mencegah), mengkoreksi,  dan menindak pelanggaran-pelanggaran atau penyimpangan yang mungkin terjadi. Untuk itu, diperlukan standardisasi norma, ukuran, tahapan dan target yang akan dicapai. Hasil Pemilu yang dapat diterima baik oleh seluruh msyarakat akan berdampak pada kredibilitas pemimpin yang dipilih, yang pada akhirnya kembali kepada kesejahteraan masyarakat pemilih nya. Pemilu dan Pemilihan yang sehat dan berkualitas tentunya bukan hasil kerja penyelengara saja, tetapi juga membutuhkan andil dan peran serta masyarakat. Jika tingkat partisipasi pemilih sesuai atau lebih dari yang direncanakan ,tentunya bedampak pada keterwakilan yang tercermin dalam hasil Pemilu atau Pemilihan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Bawaslu bertugas:

  1. Menyusun standar tata laksana pengawasan penyelenggaraan pemilu untuk pengawas pemilu di setiap tingkatan.
  2. Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu dan engketa proses pemilu.
  3. Mengawasi persiapan penyelenggaraan pemilu, yang terdiri atas: perencanaan dan penetapan jadwal tahapan pemilu, perencanaan pengadaan logistik oleh KPU, sosialisasi penyelenggaraan pemilu, dan pelaksanaan persiapan lainnya dalam penyelenggaraan pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
  4. Mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu.
  5. Mencegah terjadinya praktik politik uang.
  6. Mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia.
  7. Mengawasi pelaksanaan putusan/keputusan.
  8. Menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu kepada DKPP.
  9. Menyampaikan dugaan tindak pidana pemilu kepada Gakkumdu;
  10. Mengelola, memelihara, dan merawat arsip serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  11. Mengevaluasi pengawasan pemilu.
  12. Mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU.
  13. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan menurut (Abhan, 2021:4) dalam kutipannya dari Prof. Ramlan Surbakti dan Hari Fitrianto, diskursus kepemiluan selalu diwarnai dengan pemantauan atau pengawasan. Hal ini dapat dilihat dengan pembagian menjadi tiga tipologi. Yang pertama adalah electoral Observation, yang tugasnya adalah sebatas mengumpulkan informasi seputar pelaksanaan tahapan Pemilu dan membarikan penilaiannya, pola ini biasanya dilakukan oleh pemantau Pemilu internasional atau koalisi penyelenggara Pemilu internasional. Yang kedua adalah electoral monitoring yaitu praktek pengawasan yang memiliki otoritas atau legitimasi untuk melakukan pengamatan dan mengintervensi proses jika ada norma yang dilanggar. Hal ini dapat dilakukan oleh pemantau independen yang telah mendapatkan akreditasi penyelenggara Pemilu. Dan yang terakhir adalah electoral supervisory, yaitu lembaga pengawas Pemilu yang dibentuk negara dan memiliki kewenangan untuk mengawasi proses penyelenggaraan di setiap tahapan Pemilu, bahkan juga memiliki wewenang dan tugas untuk menangani dugaan pelanggaran Pemilu yang diperoleh dalam pelaksanaan pengawasan. (Ramlan Surbakti dan Hari Fitrianto : 2015:7-8).

Dalam undang-undang Pemilu, lembaga pengawas Pemilu (Bawaslu) diberikan wewenang juga untuk membentuk susunan organisasi pengawas serta dilengkapi dengan jajaran pengawas mulai dari tingkat pusat hinga di TPS. Bawaslu dibagi menjadi dua yaitu dalam bentuk permanen (tingkat pusat hingga kabupaten/kota) dan bentuk ad hoc (dari tingkat kecamatan, desa/kelurahan hingga TPS). Dari struktur yang bisa kita lihat, Bawaslu dari tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota merupakan lembaga yang bersifat permanen, berbeda dengan pengawas di tingkat bawahnya, dari jajaran kecamatan, desa/kelurahan dan tingkat TPS yang bersifat ad hoc. Dari kedua bentuk /tipe penyelenggara tersebut, ada beberpa dimensi yang harus dilihat untuk meningkatkan kualitas seorang penyelenggara dan yang nantinya mendukung lembaga penyelenggara tersebut. Seperti yang ditulis oleh James.et.al (2019) dalam kutipan Aditya Perdana , dalam tubuh penyelenggara tercakup tujuh dimensi yaitu dimensi sentralisasi, dimensi independensi, dimensi kapasitas, dimensi ruang lingkup dan pembagian tugas, dimensi relasi dengan aktor eksternal, dimensi teknologi dan dimensi personel.

Dimensi sentralistik menjelaskan bahwa lembaga penyelenggara memiliki kemampuan daya jangkau melaksanakan penyelenggaraan dari pusat hingga lokal. Cakupan ruang lingkup nasional dan sub nasional yang artinya dapat melayani kebutuhan hak-hak pemilih hingga daerah. Dimensi indpendensi menjelaskan bahwa kinerja penyelenggara dapat menunjukkan netralitas dan imparsialitas dari keberadaan pengaruh dan kuasa pemerintah atau yang lainnya. Sedangkan dimensi kapasitas lebih ditujukan pada tingkat kemampuan yang mumpuni bagi seorang dan beberapa orang dalam lembaga penyelenggara melakukan tugas pokok dan fungsi nya dalam penyelenggaraan Pemilu.  Yang berikutnya adalah dimensi ruang lingkup dan pembagian tugas artinya seorang penyelenggara dalam tugas utama nya harus benar-benar memahami, seperti contoh penyelenggara di divisi penegakan hukum, harus mampu menyelesaikan perselisihan, sengketa dan pelanggaran-pelanggaran dalam tahapan Pemilu, juga divisi lain seperti SDM juga harus mampu mengarahkan personel-personel penyelenggara yang lain melakukan tugas dan fungsinya secara baik. Dimensi berikutnya adalah relasi dengan aktor eksternal yang artinya kemampuan menjaga relasi dengan pihak eksternal yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan Pemilu, seperti pemerintah stempat, pihak-pihak keamanan, pemantau,  LSM dan media. Tentunya keterampilan ini dapat menciptakan sinergitas dalam peningkatan mutu Pemilu dan Pemilihan. Kemampuan menjalin kerjasama ini akan membuat beban kompleksitas Pemilu juga lebih ringan.  Dimensi teknologi artinya berhubungan dengan sarana penunjang pelaksanaan Pemilu, baik soft ware atau pun hard ware , dapat mereduksi adanya tingkat kesalahan, sehingga Pemilu yang transparan dan akuntabel dapat terimplementasi. Dimensi berikutnya adalah personel, yang akan dilihat dari dimens ini adalah kinerja personal sebagai penyelenggara atau staf memiliki berbagai kemampuan dan keahlian, bentuk dan metode keahlian (yang berhubungan dengan persuasif skill dan enterpraise) juga memiliki metode pelatihan-pelatihan, peningkatan kemampuan pola rekrutmen, orientasi pelayanan dan manajemen data yang baik.

Dari berbagai dimensi yang telah kita pelajari bersama, tentulah akan mencapai kesempurnaan manakala pola organisasi penyelenggara membuka pintu partisipasi masyarakat. Urgensi keterlibatan partisipasi masyarakat dalam Pemilu serentak tidak saja akan memperkuat kapasitas pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu, namun pengawasan yang dilakukan oleh civil society pun mendorong perluasan terhadap wilayah pengawasan. Keterbukaan pada partisipasi masyarakat menimbulkan rasa memiliki terhadap demokrasi yang sehat, dan akan berlaku sehat jika semua keterlibatan itu terjadi dalam mewujud nyatakan Pemilu yang berintegritas. Bawaslu dalam berbagai program nya telah mendorongkan pengawasan berbasis masyarakat sipil (Abhan , 2017). Program ini tentunya tidaklah bisa segera dicapai secara maksimal. Kesadaran politik masyarakat harus ditingkatkan dahulu sebelum partisipasi itu terlaksana. Dan ternyata selama ini yang menjadi kendala adalah rendahnya kesadaran politik masyarakat tersebut. Dan juga ada kemungkinan sosialisasi akan kran partisipasi masyarakat belum optimal, itupun diakui oleh Bawaslu. Sedangkan rendahnya kesadaran politik masyarakat itu bermuara pada rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai demokrasi. Kolaborasi yang baik antara Bawaslu dan masyarakat sipil menjadi kunci terbukanya pengawasan yang partisipatif. Bentuk nyata dari hasil evaluasi terhadap tingkat pengawasan partisipatif adalah terbitnya program Gowaslu yaitu portal bersama yang dapat menghubungkan jajaran pengawas (yang mempunyai kewenangan pengawasan dan menerima informasi awal dugaan pelanggaran) dengan metode yang dapat dengan mudah dan cepat dijangkau oleh pemantau dan masyarakat pemilih. Bentuk program ini adalah terkoneksinya masyarakat dan Bawaslu melalui dunia digital media sosial.

Pengelolaan Media Sosial, yaitu pengelolaan media sosial sebagai media sosialisasi dan transfer pengetahuan dan keterampilan pengawasan Pemilu dari pengawas Pemilu kepada masyarakat untuk mendorong pelibatan masyarakat dalam pengawasan Pemilu. Selain program Gowaslu, ada program  Forum Warga Pengawasan Pemilu, yaitu sebuah program pemberdayaan forum atau organisasi sosial masyarakat, baik luar jaringan (tatap muka/offline) maupun dalam jaringan (daring/online) untuk pengawasan partisipatif (Moh. Afifuddin , 2017).

Peran warga negara dalam pengawasan pemilu demi terwujudnya penyelenggaraan pemilu adalah penting. Penyelenggaraan pemilu akan berjalan dengan baik dalam setiap tahapan apabila mendapat pengawasan serta dukungan dari warga negara itu sendiri. Dalam hal meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan, sebenarnya hal ini mudah dan efisien juga dari sisi teknis. Kebanyakan di masyarakat kita, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan keagamaan biasanya dipegang oleh orang-orang kunci yang sama, juga biasanya mereka pun pegiat-pegiat penyelenggara Pemilu di tingkatan ad hoc. Selain mudah dan efisien, pola dalam forum warga biasanya menggunakan forum-forum/pertemuan yang biasanya reguler terjadi di masyarakat ditambahi dengan diskusi-diskusi sputar pengawasan. Dengan cara ini, forum warga dalam pengawasan itu sendiri tidak harus mengadakan acara tersendri. Forum-forum pengajian, rapat warga, komunitas hobi, LPMK, PKK dan pertemuan-pertemuan lain sebagai contoh dapat dipakai sebagai ajang sosialisasi mengenai pengawasan tahapan Pemilu. Seperti halnya Gowaslu, dalam forum warga pun dapat mengunakan media online sperti Whatsap group, Facebook dan media pesan jenis lain.

Masih ada lagi jenis-jenis program partisipasi masyarakat dalam pengawasan seperti Pokja Pengawasan, Relawan Pengawas, “Gempar” (Gerakan Partisipatif Pengawas Pemilu ) dan Saka Adyasta Pemilu yang membidik anak muda sebagai pelaku program pengawasan berbasis masyarakat.

Pemilu serentak 2024 yang akan datang tentunya harus berlajar dari pelaksanaan Pemilu 2019 yang lalu, berbagai kompleksitas yang terjadi saat itu sebaiknya dapat direduksi. Persoalan pelanggaran-pelanggaran, persoalan tumbangnya korban sakit dan korban jiwa pada tahap pemungutan dan perhitungan suara, belum lagi persoalan merebaknya politik uang dan polarisasi yang terjadi di masyarakat.pemilu mendatang tentunya memerlukan pengawasan yang ekstra untuk dapat menjamin kelancaran pelaksanaan pemilu serentak tersebut. Bawaslu sebagai lembaga negara yang diberi tugas dan wewenang dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilu, memiliki ruang lingkup yang sangat luas, sangat banyak, dan sangat kompleks. Perlu pengawasan di luar lembaga Bawaslu untuk dapat membantu tugas Bawaslu dalam pengawasan penyelenggaraan pemilu. Urgensi keterlibatan atau peran serta masyarakat dalam pengawasan pemilu serentak, tidak saja akan memperkuat kapasitas pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu, namun pengawasan yang dilakukan oleh civil society pun mendorong perluasan terhadap wilayah pengawasan. Pelibatan masyarakat dalam pengawasan pemilu serentak merupakan suatau kebutuhan dan juga kewajiban.

Pengawasan yang dilakukan masyarakat (partisipatif) merupakan bagian dari pelaksanaan good governance.

Terkait permasalahan yang telah diuraikan pada bab diatas, maka dapat disampaikan kesimpulan bahwa dengan  memperkuat pengawasan dengan cara melibatkan  partisipasi pada penyelenggaraan pemilu serentak berikutnya nanti, dengan melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat berkaitan dengan pentingnya pengawasan bersama, diharapkan dapat menjadi sarana pendidikan politik bagi masyarakat, dari pendidikan tersebut akan menimbulkan sebuah kesadaran bersama terhadap perasaan bahwa penting untuk memahami demokrasi dengan benar, dan dari situ akan mucul pola paradigma masyarakat untuk mengawal tahapan Pemilu bersih. Dan jika hal ini bisa terus ditegakkan, maka Pemilu bersih akan dapat terwujud.

 

Dewi Retnowati, S.E.

Staf Advokasi Percik Salatiga Bidang Kepemiluan

 

 

 

Pos terkait