Sudah Berumur 58 Tahun, Tapi Semua Desa Di Basse Sangtempe Masih Berstatus Sangat Tertinggal dan Tertinggal. Kok Bisa?

Kondisi Jalan dan Salah Satu Kantor Desa Di Bastem

Bastem, mediakita.co – Wilayah adat Basse Sangtempe (Bastem) sebuah wilayah adat yang secara geografis terletak di perbatasan Luwu dan Tana Toraja. Meski wilayah adat tersebut telah eksis jauh sebelum Indonesia merdeka namun secara administratif diakui sebagai bagian dari Luwu sebagai satu kecamatan pada tahun 1963 dengan nama Basse Sangtempe. Artinya hari ini kecamatan tersebut sudah berumur 58 tahun.

Setelah mengalami pemekaran maka wilayah adat tersebut telah menjadi tiga kecamatan yaitu Basse Sangtempe (Bastem), Latimojong dan Basse Sangtempe Utara (Basturan) dengan 36 desa.

Berdasarkan data di Kementerian Desa RI sebagaimana dikutip dari http://sid.kemendesa.go.id/  21 desa berstatus sangat tertinggal dan 15 desa dengan status tertinggal. Berikut daftar desa yang berstatus sangat tertinggal adalah Boneposi, Bunte Serek, Lambanan, Pajang, Pangi, Ranteballa, Tabang, Tibussan, To’barru, Bonglo, Ulusalu, Barana, Buntu Tallang, Dampan, Karatuan, Maindo, Taba, Tede, Ledan, Mappetajang, dan Tabi. Sedangkan yang berstatus desa tertinggal adalah To’long, Lange, Lissaga, Kanna Utara, Kanna, Buntu Batu, Bolu, Andulan, Uraso, Tasangtongkonan, Salubua, Pantilang,  To’lajuk dan Kadundung

Selain itu, masih ada desa yang status kantor desanya  tidak termasuk asset desa (menumpang) yang semuanya terdapat di Bastura yaitu Desa Pantilang dengan kepala desa Santa Manik, SE, Desa Taba dengan kepala desa Mianto Pasisang dan Desa Uraso dengan kepala desa Herdianto, S.Psi.

Jika dilihat secara geografis letak wilayah adat Bastem tidak jauh dari pusat pemerintahan Luwu namun kurangnya perhatian pemerintah daerah maupun pusat menyebabkan wilayah tersebut tetap miskin dan terbelakang. Tak ayal masyarakat Bastem sering berucap ‘Indonesia sudah merdeka tapi kami di Bastem belum merasakan kemerdekaan’.

Bacaan Lainnya

Kurangnya fasilitas publik seperti, jalan, sekolah dan pelayanan kesehatan menyebabkan banyak penduduk daerah tersebut terpaksa bermigrasi ke dataran rendah Luwu Raya. Demikian pula mereka yang ingin bersekolah ketingkat SMP dan SMA harus merantau ke daerah lain.

Demikian dengan pelayanan publik seperti pembuatan KTP, KK, Akta Lahir dan surat-surat berharga lainnya masih berpusat di Belopa sebagai Ibukota Kabupaten yang harus ditempu masyarakat dengan susah payah. Bagi masyarakat Bastem adalah pengalaman langka bertemu dengan camat atau pun kepala desa di kantor mereka.

Bastem sebenarnya memiliki potensi alam yang luar biasa namun tidak dikembangkan. Di Bastem terdapat banyak sekali situs-situs budaya kuno yang dapat dijadikan sebagai tujuan wisata. Selain itu alamnya yang subur sangat potensial untuk perkebunan dan pertanian seperti  kopi, cengkeh, coklat, dll. Terdapat pula kandungan emas di beberapa tempat.

Bastem secara budaya memiliki keunikan karena merupakan perpadauan antara Toraja dan Luwu. Secara budaya mirip dengan budaya Toraja misalnya ritual kematian (rambu solo) dan syukuran (rambu tuka’) seperti pernikahan, syukuran rumah, dll. Bahasanya pun demikian ada percampuran bahasa bugis dan Toraja.

Dari segi  toleransi Bastem adalah cerminan toleransi agama-agama khususnya Kristen, Islam dan agama leluhur (Aluk Todolo). Di Bastem nilai-nilai lokal yang banyak diadopsi dari Aluk Todolo mewarnai ritus-ritus agama Kristen dan Islam. Misalnya Ma’tambun tradisi Islam Bastem yang diadopsi dari Aluk Todolo. Banyak narasi-narasi dan ritual-ritual Aluk Todolo mewarnai aktifitas masyarakat Bastem baik yang beragama Islam dan Kristen.

Kampung Bastem di zaman pemberontakan DI/TII luluh lantah dibakar oleh pemberontak, banyak masyarakat beralih ke Islam meski sebagian masih bertahan di Kristen dan Aluk Todolo karena berhasil melarikan diri. Namun setelah DI/TII ditumpas TNI, semua kembali bersatu meski banyak di antara mereka telah berbeda kepercayaan. Mereka menata hidup bersama dengan prinsip bahwa rara buku mala’biya na agama (Saudara itu lebih mulia dari agama). Dengan paham inilah masyarakat Bastem khususnya Islam dan Kristen selalu menyatuh dengan damai.

Bastem juga menjadi simbol pemersatu antara Luwu dan Toraja melalui sumpah Sanggalangi yang mewakili dataran tinggi (Kerajaan Sangalla) dan Datu mewakili Luwu sebagai dataran rendah (kerajaan Luwu) . Kisah-kisah tersebut masih tetap hidup dalam narasi-narasi masyarakat Bastem yang diceitakan turun temurun dalam berbagai versi.

Tahu 2020 bisa jadi tahun paling mengembirakan bagi masyarakat Bastem karena untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak Indonesia merdeka, masyarakat Bastem merasakan jalannya beraspal. Berkat terputusnya akses Toraja-Luwu di wilayah Puncak karena longsor, akses jalur Bastem yang menghubungkan Toraja dan Luwu dibuka dan pembangunannya dipercepat. Hingga kini pembangunan masih terus dilakukan, semoga bisa mengubah status desa-desa di Bastem Raya menjadi desa yang berkembang dan maju. (prb/mediakita.co)

 

 

Pos terkait