OPINI
Oleh : Arief Syaefudin
Negeri ini sejenak menjadi panas dan hanya terfokus pada Pilkada DKI Jakarta. Pilkada DKI Jakarta adalah pilkada yang terpanas dan tersengit di Indonesia. Menyajikan sebuah pertontontan politik yang maha dahsyat. Dalam pilkada ini semua upaya dan kekuataan dikerahkan secara maksimal oleh partai politik, relawan dan bahkan oleh calon itu sendiri.
Drama, intrik, trik, propaganda, agitasi dan pengaruh dilakukan semuanya. Pilkada DKI adalah sebuah pembelajaran politik yang riil adanya. Mengajarkan tentang adanya kekuataan yang tidak terlihat (invisible), tentang gerakan sosial, tentang citra diri, tentang silent mayority, tentang behavioralism, tentang dinamika sosial dan yang tak kalah hebohnya adalah penunggangan agama dalam dunia politik.
Bak Yin-Yang (Hitam dan Putih) ada sisi positif yang dapat kita ambil, ada juga sisi negatif yang dapat kita ketahui. Pilkada DKI menjadi bukan sekedar politik murni, tapi ada sebuah lingkaran besar didalamnya berupa kepentingan bisnis dan persekongkolan politik. Pilkada DKI Jakarta juga menjadi bahan penyadaran untuk masyarakat tentang benarnya bahwa dunia politik adalah dunia yang kejam. Sebuah istilah klasik dalam politik “Bahwa Dalam Berpolitik Tidak Ada Kawan Abadi, Melainkan Kepentingan Abadi” istilah ini bukan isapan jempol belaka, masyarakat harus sadar akan hal ini.
Sebuah test case tentang kedewasaan demokrasi, tapi kenyataannya negeri kita tercinta ini tidak lulus dalam ujian ini. Demokrasi hanya untuk mayoritas dan hanya sebuah ilusi belaka. Demokrasi tak pelak hanya sebuah formalitas lima tahunan yang rutin dilakukan.
Pilkada DKI Jakarta adalah sebuah otokritik negeri ini tentang sebuah arti demokrasi, tentang bagaimana realitas kebhinnekaan yang kemudian dipungkiri oleh negeri ini. Apakah negeri ini mampu tampil mengejawantahkan tentang demokrasi ataukah negeri ini kembali mundur menjadi sebuah tirani. Jawaban sesungguhnya ada pada gelaran pilkada negeri ini, tapi melihat realitas pilkada yang ada saya cenderung pesimis akan kemajuan demokrasi. Semoga saja perkiraan saya salah, dan semoga saja pendapat saya tentang kemunduran negeri ini salah.
Diakhir tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan tentang kebhinnekaan dan tentang demokrasi. Apakah orang yang minoritas baik itu minoritas agama, suku, ras, golongan dan etnis tidak bisa menjadi pemimpin negeri ini ? Apakah negeri ini hanya untuk sebagian golongan saja ? Apakah pemimpin negeri ini dikhususkan untuk agama Islam semata ? Apakah demokrasi negeri hanya prosedural semata ? Apakah pentas demokrasi negeri ini hanya untuk kalangan yang berduit ? Apakah demokrasi negeri ini hanya rutinitas belaka saja ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut biarkanlah dijawab oleh hati nurani anda semua. Satu kalimat penutup dari saya “Ambil Bagianmu Dan Lekas Bantu Negeri Ini”.
Penulis : Mahasiswa Semester 4, FISIP Unsoed Purwokerto
Dari : Pemalang