PEMALANG, mediakita.co – Mbah Nur Walangsanga bagi warga Pemalang bukanlah nama yang asing,bahkan melegenda. Halini tidak terlepas dari karomah yang dimiliki oleh mbah Nur. Karomah atau Karamah (bhs. Arab) memiliki makna karunia yang diberikan oleh Allah berupa mukjizat, seperti ilmu, kekuasaan dan lainnya. Karomah tetap ada hingga akhir jaman.
Banyak karomah yang dimiliki Mbah Nur Walangsanga dan menjadi pengalaman spiritual bagi beberapa orang yang merasakan atau mengalami karomah tersebut.
Perhatian Kepada Santrinya Meski Sudah Wafat
Abdul Muid Elco, salah seorang santri Mbah Nur berasal dari Desa Kangkung Mranggen Jawa Tengah yang sangat ta’dzim dan patuh terhadap dawuh-dawuh Mbah Nur. Meski sang guru telah wafat, KH. Abdul Muid setiap tahun pasti ke Walangsanga untuk menghadiri haul gurunya itu.
Pengalaman KH. Abdul Muid selesai berzirah di tahun 2011, beliau hendak pulang, namun mendadak mobilnya macet.perbaikan hingga pukul 03:00 dini hari ternyata mobil tidak menyala juga. Sehingga, akhirnya KH. Abdul Muid memutuskan untuk bermalam di makam Mbah Nur.
Pagi hari, peristiwa yang aneh terjadi, mobil KH Abdul Muid menyala sendiri.
Saat melewati Pemalang Kota, KH Abdul Muid melihat adanya bekas banjir besar. Benar, banjir bandang telah melewati kota Pemalang dan memutus Jembatan Comal. KH Abdul Muid merasakan semacam adanya kehadiran Mbah Nur atas peristiwa mobil yang mogok semalam.
Pisang Ajaib Mbah Nur
Kisah lain karomah Mbah Nur dikisahkan oleh dua santrinya, yaitu Kiai Bardi dan KH. Abdul Muid. Berdua mereka ingin ‘sowan’ kepada Mbah Nur sang guru. Namun, mereka tidak memiliki uang untuk ongkos menuju ke kediaman Mbah Nur. Mereka hanya mempunyai buah pisang yang masih di pohon. Lalu buah pisang itu dijualnya untuk bekal modal perjalanan berangkat sowan.
Kisah menariknya adalah, saat Kiai Bardi dan KH Abdul Muid tiba di kediaman Mbah Nur yang berada persis pinggir sungai, mereka disuguhi pisang oleh gurunya tersebut. Berdua sangat kaget, saat mereka meihat pisang yang disuguhkan sama persis dengan pisang yang mereka jual sebelum berangkat sowan.
Air Hujan Tak Berani Menyentuh Mbah Nur
Peristiwa lain adalah saat Mbah Nur berangkat ke Bendakerep, Cirebon untuk mengaji kepada Kiai Kaukab. Mbah Nur ditemani menantunya, Kiai Musthafa, di tengah perjalanan tiba-tiba hujan deras. Lalu Mbah Nur berkata kepada Musthafa, “Peganglah tanganku!” dan selama perjalanan tersebut, berdua tidak setetes pun terkena air hujan.
Banjir Tak Berani Menyentuh Rumah Mbah Nur
Rumah kediaman Mbah Nur semula di Blok Mushalla al-Awwabin. Namun karena alasan khalwat, menyepi atau riyadhah, beliau memilih tinggal di Blok Manggis Genting Kel. Walangsanga Kec. Moga Pemalang yang saat itu masih sepi jauh dari rumah penduduk karena letaknya di tengah sawah.
Selain itu kediaman Mbah Nur yang baru memang bukan untuk keumuman manusia, lokasinya di sawah dan berada di samping sungai. Bahwak, banyal orang menngatakan rumah Mbah Nur tidak ada jarak, menyatu dengan sungai. Rumah sederhana terbuat dari bahan dasar bambu, menjadikan Mbah Nur semakin kharismatik di mata masyarakat.
Pernah suatu kali, terjadi banir besar. Air yang meluap-meluap, namun air banjir tak menyentuh apalagi menggenangi Mbah Nur. Menurut saksi mata saat peristiwa terjadi, air sungai yang banjir tersebut nampak mengalir miring menghindari rumah Mbah Nur. Sebesar apapun banjir yang datang pasti airnya miring dan tidak sampai menggenangi ataupun menyentuh pintu bilik rumah Mbah Nur.
Peristiwa terulang saat Mbah Nur meninggal dunia.
Mampu Melihat Kejadian yang Akan Terjadi
Dikisahkan tentang karomah Mbah Nur yang lain adalah pada tahun 1974, Haji Syamsuddin dan istrinya dari daerah Tegal hendak melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Semua syarat dan berbagai macamnya sudah terpenuhi, tinggal menunggu keberangkatan. Sambil menunggu keberangkatan, mereka sowan ke kediaman Mbah Nur untuk meminta doa dan berkah agar perjalanan haji mereka dilancarkan.
“Mohon doa restu, Kiai. Tahun ini kami insyaAllah akan melaksanakan ibadah haji. Doakan kami semoga lancar dan selamat,” kata H. Syamsuddin.
“Mau haji? Haji Singapura?” ucap sang kiai tanpa ekspresi sedikit pun.
Tidak lama setelah kunjungan tersebut, H. Syamsuddin dan keluarganya lalu pamit pulang. Apa yang disampaikan oleh Mbah Nur menjadi teka-teki di dalam benaknya.
Di belakang hari kemudian teka-teki dari perkataan Mbah Nur terjawab. Saat jadwal keberangkatan, H. Syamsuddin dan istrinya harus membatalkan rencana pergi hajinya tahun itu walau mereka telah berada di embarkasi di Jakarta. Baru, pada tahun-tahun setelahnya mereka bisa menunaikan ibadah hajinya.
Jawaban “Haji Singapura” dari Mbah Nur terbukti, kalau sang tamu tak bisa menunaikan ibadah haji pada tahun itu, seakan Mbah Nur telah mengetahui peristiwa yang sebenarnya belum terjadi, weruh sadurunge winarah.
Kisah lain terjadi pada Nyai Nurmi, salah seorang istri Mbah Nur, saat hendak pergi berhaji. Ia pamit minta ijin dan doa dari sang suami. Lalu Mbah Nur hanya berkata, “Silakan kamu pergi berhaji, tapi kamu tidak akan pulang lagi ke Walangsanga. Nanti kita ketemu di Mekkah sana.”
Singkat cerita Nyai Nurmi pun sampai di Mekkah. Dan betul di sana ia bertemu secara nyata dengan Mbah Nur suaminya yang tidak turut berhaji. Selang beberapa waktu Nyai Nurmi pun meninggal dunia di Mekkah al-Mukarromah. Betul-betul terjadi perkataan Mbah Nur, “Kamu tidak akan pulang lagi ke Walangsanga”.
Karomah Mbah Nur menjadi kebanggaan bagi warga Pemalang, sekaligus tentang sejarah kebaikan yang selalu dikenang.
Penulis : Teguh Santoso
Sumber : https://youtu.be/fNo26VwWtWc