Pesan Bung Karno: Ia Dibimbing Tuhan Di Tengah Bahaya

foto: Serdadu Belanda memperlihatkan foto Presiden Soekarno yang disita dari rumah yang dicurigai sebagai gerilyawan Indonesia. Lukisan tersebut dibuat berdasarkan foto Mendur bersaudara. Cirebon, 27 Juli 1947. (Koleksi Museum Bronbeek).
foto: Serdadu Belanda memperlihatkan foto Presiden Soekarno yang disita dari rumah yang dicurigai sebagai gerilyawan Indonesia. Lukisan tersebut dibuat berdasarkan foto Mendur bersaudara. Cirebon, 27 Juli 1947. (Koleksi Museum Bronbeek).

SEJARAHKITA, mediakita.co – (Kamis, 25/3). Kisah revolusi lekat dengan cerita-cerita berbahaya. Bahkan seringkali disebut hidup di tengah bahaya. Bisa dipahami jika cara pandang akan bahaya itu melekat dalam diri seseorang seperti Bung Karno sebagai pemimpin revolusi Indonesia. Suatu saat ia sampaikan untuk berani berjuang meski dalam perjuangan itu harus menyerempet-nyerempet bahaya atau vivere pericoloso.

Salah satu bukti keberanian Bung Karno menyerempet bahaya saat revolusi kemerdekaan itu dikisahkan di dalam Buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams (2007) bagian Revolusi Dimulai. Bung Karno pun mengaku bahkan ia sendiri tak tahu darimana ia bisa memiliki keberanian dan kekuatan menghadapi bahaya saat itu, Tuhanlah yang tahu dan ia tidak tahu.

Berikut cuplikan kisahnya:

“…Dalam suatu revolusi tidak mungkin orang berhenti terlalu lama untuk memikirkan sesuatu. Semua orang bekerja dengan tergesa-gesa. Aku begitu sibuk menjalani setiap jam, sehingga sampai bertahun-tahun kemudian tidak pernah menyadari resiko apa yang telah kuhadapi. Ambillah misalnya, di pagi aku merundingkan genjatan senjata di suatu daerah dalam sebuah kamar telpon yang kecil, gelap, kotor di daerah Magelang yang diduduki Inggris. Berita tentang genjatan senjata belum sampai pada prajurit dari kedua belah pihak, ketika seorang perempuan yang wajahnya mirip ibuku datang berlari dengan histeris meratap-ratap, bahwa anaknya telah ditawan. Dia menunjuk arah ke mana orang Inggris membawa anaknya itu. Aku berjalan ke daerah itu. Perlahan tetapi terus maju. Aku tidak berkata apa-apa. Aku tidak membawa bendera putih. Hanya terus berjalan langsung memasuki kamp musuh. Sendirian. Tak seorangpun ikut denganku.

Aku berada dalam jarak tembak sebuah sarang senapan-mesin yang ditujukan tepat ke jantungku, ketika suara seorang Indonesia, entah darimana, berteriak dalam bahasa Inggris, “Hei, semua… jangan menembak… itu Presiden Sukarno, jangan tembak…! ”

Bacaan Lainnya

Seolah-olah aku mempunyai hak muthlak berada disana, aku berjalan ke dalam semak-semak dan dengan segala wibawa yang ada padaku kuminta untuk bertemu dengan komandannya, menuntut pembebasan dari anak itu dan kemudian kembali bersama-sama anak itu. Orang Inggris semuanya terpaku dan mengabulkan permintaanku.

Dan kenapa aku tidak menunggu satu jam lagi hingga berita genjatan senjata sampai ke seluruh garis pertempuran? Dan mengapa aku berani masuk ke daerah musuh, padahal aku tahu bahwa aku dicari-cari untuk dibunuh? Aku tidak tahu. Andaikata saja ada seorang pahlawan yang gatal tangan, aku mungkin akan tergeletak tidak bernyawa. Darimana seseorang di satu waktu memiliki keberanian dan kekuatan untuk melakukan pekerjaan yang dia kerjakan, hanya Tuhan yang tahu. Aku tidak tahu”.

Kisah Bung Karno memberi pesan, bahkan di balik keberanian dan kekuatan (daya) dari setiap pekerjaan yang kita kerjakan pun sesungguhnya hanya Allah yang mengetahuinya. Termasuk, dalam setiap pekerjaan yang mengandung bahaya.(Jawi/mediakita.co)

 

Pos terkait