NASIONAL, mediakita.co – Sore, teriakan kurir terdengar lantang,”Pakett!!”, dan segera penulis keluar menyambutnya. Setelah diterima, saya baca kepada siapa paket tersebut ditujukan. “ini paket buat Mama,” kata saya kepada isteri. “Buku dari Kak Martha Hebi, Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba,” kata istri saya sembari menyodorkan kembali buku itu kepada saya.
Buku setebal 1.5 cm ini diterbitkan oleh Rasibook, pada April 2020 menarik perhatian saya. Dan menapaki 292 halaman buku, tidak terasa, kadang terhenyak dan terkesima memasuki kisah setiap tokohnya.
Mengapa Perempuan dan 1965-1998?
Membaca judul buku, langsung saya fokus pada isu perempuan, dan membuka profil penulisnya. Martha Hebi (44 tahun), perempuan kelahiran Waingapu, Sumba Timur. Hebi yang saat ini aktif di Komunitas Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN)-Sumba, dan sejak tahun 2010 bersama komunitas Hambila, aktif mengkampanyekan kegelisahan sosial. Dan, kecintaan pada puisi, cerita pendek dan monolog, Hebi menuangkan kegelisahannya melalui media seni.
Pergumulan pemikiran Hebi pada pergerakan perempuan tidak begitu saja muncul, namun dimulai sejak tahun 2002 bersama Yayasan ATMA Solo, yang mendampingi kelompok masyarakat. Dan, sejak tahun 2005, ia bergabung dengan program ACCESS (Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme) sebuah program yang focus pada penguatan warga khususnya perempuan.
Perempuan Sumba yang menjadi topik dalam bukunya didasari oleh intensi Hebi untuk mengumpulkan kisah-kisah perjuangan para perempuan Sumba, yang selama ini dipandang ‘hanya sebagai ibu rumah tangga atau hanya perempuan’. Dan kisah 15 perempuang yang ditulis, merupakan sosok-sosok perempuan ‘yang di mata’ Hebi mampu memberikan dan melakukan perubahan di Sumba. Dan perempuan tersebut sesungguhnya sangat mudah dijumpai, di manapun.
Fokus mengamati geliat perempuan Sumba dalam periode 1965-1998, Martha Hebi memberikan catatan menarik, bahwa dalam periode tersebut, perempuan kehilangan identitas dan sejarahnya. Dituliskan, bahwa ‘perempuan yang berorganisasi’ digambarkan secara sistematik dalam propaganda Orde Baru melalui film Pengkhianatan G30S/PKI, sehingga perempuan yang menyuarakan keberpihakannya baik secara personal maupun lembaga akan dicap sebagai ‘Gerwani’ yang digambarkan sangat kejam, binal dan tidak berperikemanusiaan. Dan di tahun 1998, pembunuhan identitas perempuan berulang, di mana dalam tragedy perkosaan ‘massal’, perempuan dilemahkan. Penguasaan terhadap tubuh perempuan sebagai jalan pintas untuk melemahkan gerakan mereka.
15 Perempuan Inspiratif
Martha Hebi, dalam buku ini berkisah tentang 15 perempuan yang berkarya di Sumba. Kisah yang menggambarkan sosok-sosok perempuan sebagai cermin perubahan dan geliat perlawanan mulai dari pikiran mereka sendiri, keluarga dan lingkungan sosialnya.
Sumba dikenal masih sangat kuat memegang tradisi, dan salah satunya perbudakan. Dan, Tamu Rumbu Margaretha, sosok perempuan bangsawan yang memerdekakan hambanya melalui proses menyekolahkannya. Dengan upaya tersebut, ia mengikis jurang pemisah antara tuan dan hamba. Dan ketika kesadaran semakin meluas, perubahan yang terjadi pada saat ini, banyak para bangsawan yang hak tanah untuk para hambanya. Bahkan, yang terjadi di Praing Kareha, keluarga pendeta melalukan hal yang sama, yakni memberikan hak tanah untuk para hamba, serta juga membebaskan ata ngandi atau hamba yang dibawa-nya.
Tradisi Sumba lain yang menjadi kegelisahan seorang Salomi Rambu Iru adalah yappa maradda atau culik perempuan. Penculikan perempuan lajang oleh seorang lelaki untuk dijadikan istri, meski sang perempuan menolak,menjerit dan meronta, warga akan membiarkan saja karena sudah dianggap biasa. Orang-orang hanya akan mengatakan, “Ada yang bawa lari perempuan.” Dan, persoalan akan diselesaikan secara adat, di mana pihak laki-laki akan mengirim wunang atau juru bicara kepada pihak perempuan, bahwa sang gadis berada di rumah keluarga laki-laki. Mama Salomi melalui Forum Perempuan Sumba (Foremba) tergerak untuk membantu kaum perempuan.Sudah cukup banyak kemajuan dicapai bagi kaum perempuan di Sumba, melalui langkah maju Mama Salomi.
Lidda Mawo Mudde biasa dipanggil Mama Lidda adalah perempuan penganut Marapu, agama asli masyarakat Sumba. Ia menggugat diskriminasi yang dilakukan oleh Negara dan gereja terhadap Marapu. Peminggiran Marapu terjadi sejak tahun 1965 sejak berlakunya Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 yang kemudian berujung menjadi UU No 5/1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Perjuangan Mama Lidda adalah kisah menarik, sosok perempuan yang tegak berdiri dengan jati diri spiritualitasnya. Dalam catatan tambahan kisah Mama Lidda menunjukkan pergumulan spiritualitas, pertentangan institusi keagamaan dan berujung pada bentuk kesepakatan akan beberagaman dan toleransi.
Selain beberapa 3 (tiga) tokoh di atas, terdapat 12 (duabelas) tokoh lain, yakni Wiyati, Kahi Ata Ratu, Martha Dada Ghabi, Maria Imakulata Nudu, Debora Maramba Hi, Kati Hari Radjah, Suster Maria Matea, Katrina Koni Ki’I, Rambu Hoy Mila Meha, Hana Atanau, Agustina Kahi Atanau, dan Rince Boba Kayu, Masing-masing memiliki kisah perjuangan, yang tentu memberi warna baru bagi Sumba.
Buku ini cukup detail memberikan gambaran perjuangan masing-masing tokoh, dan tentu saja inspiratif. Membaca buku ini, kita diajak menjadi saksi perubahan Sumba melalui tokoh-tokoh perempuannya.
Penulis: Haris Shantanu