Film Tilik: potret kondisi sosial

NASIONAL, mediakita.co – Film pedek berjudul ‘Tilik’ yang saat ini viral di jagat medsos. Film pendek berdurasi 32 menit produksi Ravacana Films yang bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini berhasil menyedot perhatian banyak orang.

‘Tilik’ sendiri mengisahkan serombongan ibu-ibu kampung yang akan mem-bezoek Bu Lurah ke rumah sakit. Perjalanan mereka menuju rumah sakit dengan menumpang truk. Pergunjingan selama perjalanan tentu yang menarik dalam film pendek ini. Di laman twitter, kata ‘Tilik’ sendiri mencapai 17.400 lebih diperbincangkan.

Dunia dalam genggaman
Dalam film ‘Tilik’, muatan perbincangan selama perjalanan menuju rumah sakit sangat menarik. Gosip dan ‘ghibah’ berloncatan, dengan sumber berita dari gadget dalam genggaman mereka. Adalah tokoh Dian yang diperbicangkan, dengan status lajang berasal dari keluarga sederhana namun dianggap tiba-tiba menjadi kaya.

Bu Tejo memainkan peran besar dalam pergunjingan tersebut. Semua informasi melalui gadget-nya dianggap selalu benar. Kebenaran dunia dalam genggaman.

Peran mBak Ning yang mencoba selalu kritis, bahwa berita juga butuh dikonfirmasi, selalu mentah di tangan bu Tejo, yang bahkan Bu Tejo mampu ‘mengorganisir’ ibu-ibu lain untuk pro kepadanya.

“Mangkane, nduwe HP kuwi yo aja mung nggo nggaya thok, tapi yo nggo nggolek informasi,” (makanya, punya HP itu jangan hanya untuk bergaya, tetapi ya untuk mencari informasi) demikian kata Bu Tejo menasehati para Ibu-ibu, dan kondisi tersebut semakin menegaskan gadget sebagai sumber informasi yang seolah tidak butuh klatifikasi.

Bu Tejo adalah cermin kita
Bu Tejo adalah sosok sentral dalam ‘Tilik’, penguasaan atas informasi melalui gadget yang dimilikinya mampu membawa Bu Tejo berbicara apa pun. Dan situasi ini disambut oleh ibu-ibu lain yang merasa haus akan informasi terkini, dan Bu Tejo seolah menjadi jawaban. Kemampuan persuasi Bu Tejo menghipnotis sekelilingnya.

Peristiwa penghentian truk oleh polisi, direspons sangat luar biasa oleh ibu-ibu. Dan, lagi-lagi Bu Tejo menjadi corong utama gerakan tersebut.

Aturan lalu lintas dianggap menghambat tujuan, dan pelanggaran atasnya seolah boleh dan dibenarkan melalui aksi ibu-ibu ini dalam ‘mengeroyok’ petugas kepolisian.

Peristiwa yang menjadi sangat kontradiktif adalah di bagian akhir cerita, manakala rombongan tiba di rumah sakit dan bertemu dengan Dian. Kondisi bu Lurah yang masih dalam perawatan di Ruang ICU tidak bisa ditengok.

Keprihatinan yang menggerakkan ibu-ibu untuk menengok Bu Lurah pupus di ujungnya karena tidak bisa menengok. “Dadi wong ki sing solutip ngono lo yaaa..” (jadi orang itu harus bisa memberikan solusi), kata Bu Tejo berhasil ‘memaksa’ ibu-ibu lain untuk berbelanja di pasar sebagai ganti rasa kecewanya.
Kepada Bu Tejo kita semua bisa bercermin.

Penulis : Teguh Santoso

Pos terkait