Kudatuli Di Mata Kader Muda Banteng

Kudatuli Di Mata Kader Muda Banteng
Kudatuli Di Mata Kader Muda Banteng

JAKARTA, medkiakita.co- Kudatuli atau Peristiw Kasus Dua Tujuh Juli atau dikenal juga sebagai Peristiwa Sabtu Kelabu menjadi catatan tersendiri bagi perjalanan demokratisasi politik di Indonesia. Terlebih bagi pelaku, korban, keluarga korban dan pegiat demokrasi di Indonesia peristiwa itu menjadi ingatan khusus yang tidak mudah dilupakan, tak ubahnya ingatan tentang sejarah yang tidak boleh di tinggalkan.

Ingatan menjadi begitu penting, sebagaimana pernyataan novelis Milan Kundera menyebut, “Perjuangan manusia adalah melawan lupa”. Penyataan yang kemudian lebih familiar di Indonesia dengan “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa”, sebab dari lupa lah penindasan bermula.

Ingatan akan Peristiwa 27 Juli 1996 atau ‘Kuda Tuli’ masih terawat di salah satu keluarga pegiat perjuangan demokrasi di Indonesia ini.

Ingatan Kudatuli sebagai tonggak bangkitnya perlawanan Kaum Pro Demokrasi terhadap Rezim Otoriter.

“Saya saat itu masih duduk di bangku SMA memang tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa itu, tidak seperti senior-senior saya di PDI yang mengalami langsung kejadian kelam itu. Namun, sebagai putra dari seorang Aktivis pembela HAM dan pro demokrasi, saya memiliki kenangan tersendiri,” menurut Banteng Pringgodani kader muda PDI Perjuangan yang sempat menjadi Caleg DPR RI Dapil Jawa Tengah 1 ini.

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut dalam keseharian ia saksikan bagaimana orang tuanya berjuang untuk demokrasi dan keadilan di Indonesia.

“Mama saya sejak usia 20-an tahun mulai mendedikasikan dirinya utk berjuang melawan ketidakadilan, sebagai seorang Advokat. Ia selalu merasa terpanggil saat mendengar atau melihat adanya ketidakadilan yg dialami Wong Cilik dan perempuan khususnya. Ia akan langsung menanganinya dengan gigih walau tanpa dibayar, bahkan seringkali datang masyarakat ke kantornya yang kecil di bilangan jalan Gajah Mada Jakpus yang membayarnya tidak dengan uang tapi dengan makanan sederhana hasil masakan Ibu Rumah Tangga, sayuran hasil berkebun, hasil tani dari Petani kecil misalnya,” mengenang perjuangan ibunya.

Bahkan terkadang menurutnya perjuangan Sang Ibu juga tidak lepas dari teror dan ancaman oleh pihak-pihak yang dilawannya.

“Salah satu kejadian teror yang saya ingat adalah saat mama dihampiri 2 orang oknum tentara yang datang ke rumah, saat Ia muncul di teras rumah, salah satu orang itu mencabut pistolnya dan menodongkan ke arah kepalanya, sebelum penodong itu bicara, Mama dengan tenang langsung bicara.

“Ayo masuk dulu ke dalam, saya buatkan kopi,” seraya masuk ke dalam ruang tamu, saat 2 orang tentara itu ikut masuk sambil mereka keheranan (mungkin heran kok ditodong pistol tidak panik), mereka tambah nampak kaget saat melihat lukisan diri kakek saya dengan seragam TNI lengkap di ruang tamu rumah, segera Ia ucapkan “itu ayah saya” menirukan ucapan Mamanya Sekonyong mereka minta maaf dan ampun kepadanya. Rupanya mereka utusan seseorang yang ia lawan dalam suatu advokasi hukum, terang Banteng menceritakan kisah perjuangan Mamanya.

Banteng masih menceritakan, perjalanan hidup dan kisah perjuangan Sang Ibu yang memang unik dimana saat Ia kecil bermain di rumah Pak Harto, namun saat Ia dewasa justru berhadapan dengan Pak Harto.

Ayahnya atau Kakek saya adalah TNI dgn pangkat terakhir Mayor Jenderal, Kakek saya jebolan PETA, jejak sejarahnya tidak lepas dari Jenderal Ahmad Yani, singkatnya rumah mereka berdekatan di Menteng Jakpus, dekat jalan Cendana juga.. sehingga hal biasa anak-anak Pati TNI di Menteng main bersama bahkan di rumah Pak Harto.

Lebih unik lagi Suaminya atau Papa saya adalah Intelijen binaan Ali Moertopo, mungkin hal itulah yg membuat Ia bercerai karena adanya perbedaan pandangan dan prinsip dalam politik, tambah unik lagi Ayah mertuanya yang juga TNI adalah tokoh PNI Surakarta, sehingga antara mertua dan menantu malah saling akur karena cocok dalam pandangan politik.

Singkat cerita, di tahun 1996 saat Bunda Megawati memutuskan untuk melakukan perlawanan melalui jalur hukum, dibentuklah Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) pada tanggal 27 Juni 1996 di Jakarta, TPDI merupakan kolaborasi DPP PDI Pro Mega dengan YLBHI, IKADIN, dan LKI. Ia termasuk pendirinya, bahkan diawalnya Ia satu-satunya perempuan yang bergabung.

Banteng menceritakan kisah ibunya. Ayahnya marah sekali saat mengetahui Ia bergabung ke TPDI, dan meminta Ia mundur, namun Ia tak bergeming.

“Bahkan Papa saya ikut membujuk dan mengingatkan akan keselamatan jiwanya… Papa saya bilang ada pertimbangan pimpinan untuk menculik dirinya… info dari Papa saya malah membuat Ia semakin keras dan mantap dengan pilihannya. Saya ingat betul waktu itu kakak saya sampai menangis karena khawatir keselamatan jiwa Mama saya”, terangnya.

Beberapa hari setelah terbentuknya TPDI, Ayahnya dipanggil Pak Harto…diminta utk membujuk agar Ia mundur tetapi lagi-lagi tak bergeming. Keesokannya setelah itu datang ke rumah salah satu Tokoh elite Golkar yang diutus Pak Harto untuk menemuinya, tanpa basa basi Tokoh itu bilang Pak Harto menawarkan posisi Menteri Pemberdayaan Perempuan bila Ia bersedia mundur, dijawab “terima kasih, saya tetap jalan terus, saya sadar resikonya!!” menirukan kisah Mamanya.

Dari kenangan tersebut saya belajar bahwa dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan pantang kita surut keberanian.

“Saya mengambil hikmah yang saya tauladani dari Mama saya, politik bukan semata perjuangan jabatan dan kekuasaan, politik juga perjuangan ide dan prinsip”, ungkap Banteng Pringgodani yang aktif di partai mulao dari pimpinan ranting dan PAC di Jakarta Selatan ini.

Bagi Banteng Pringgodani, peristiwa Kudatuli sebatas moment yang menghadirkan ingatan akan sebuah perjuangan demokrasi di Indonesia bahwa demokrasi yang ada saat ini tidak turun begitu saja dari langit.

“Terima kasih atas inspirasi perjuanganmu Mama: Tumbu Saraswati,” pungkas Banteng Pringgodani.

Pos terkait