ajibpol
SEJARAH KITA

Mbah Nurbesari: Jejak Misterius Perang Diponegoro di Pemalang

PEMALANG, mediakita.co – Sejarah Perang Diponegoro menyisakan kisah yang berserak di tanah Jawa. Di Pantura Jawa Tengah Kabupaten Pemalang diantaranya terdapat ceceran sejarah Perang Jawa yang terkenal karena membuat bangkrut kongsi dagang Belanda Hindia Timur atau VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) saat itu.

Mediakita.co menghimpun ceceran sejarah Perang Jawa itu di Pemalang. Kisah didapat melalui pengumpulan cerita lisan maupun tulisan, juga dari narasumber, sebagaimana cerita dari Udtadz Ali Mashar tentang sejarah Mbah Nur Besari Dusun Kebumen di Pemalang ini.

Sepenggal Kisah Sejarah Dusun

Adalah Dusun Kebumen Desa Pedurungan, Taman Kabupaten Pemalang. Hanya sebuah dusun, namun menyimpan kisah yang besar.

Suasana dusun sekilas tak jauh berbeda dengan dusun-dusun lainnya di Pemalang. Namun ternyata, Dusun ini menyimpan kisah tentang jejak sejarah Perang Jawa di wilayah Pantura.

Pemalang dahulu kala dikenal daerah yang cukup strategis karena menghubungkan wilayah Pantai Utara yang ramai saat itu dengan pusat kerajaan Mataram di Yogyakarta. Dalam kisah Perang Jawa, Pemalang pernah dipimpin seorang Adipati dan tokoh lain yang berpihak membantu Pangeran Diponegoro.

Adalah Masjid Baitul Muttaqin di Dusun Kebumen turut menyimpan kisah sejarah masa itu. Masjid ini turut menjadi bagian dari sejarah Perang Jawa. Di komplek masjid ini terdapat makam kuno yaitu makam Mbah Nurbesari beserta istri yang bernama Nyi Rumpini. Juga makam putranya yang bernama Mbah Nur Sueib.

Mbah Nurbesari: Bangsawan Menjadi Rakyat

Siapakah Mbah Nurbesari? Ia merupakan putra Mbah Nur Kalam selaku pendiri Masjid Agung Pemalang. Dikisahkan Mbah Nurbesari ini sebelumnya memiliki nama asli Raden Padmonegoro.

Mbah Nurbesari lahir di bumi Mataram Kasultanan Yogyakarta. Disebutkan beliau masih merupakan salah seorang cucu dari Sri Sultan Hamengku Buwono II. Sosok yang disebut-sebut masyarakat sekitar sebagai sepupu dari Pangeran Diponegoro. Yang sekaligus juga sepupu Pangeran Suryonegoro yang pada saat itu menjadi Adipati Pemalang dengan Sebutan Kanjeng Suwargi (yang ada dalam kisah ini).

Perang Jawa 1925-1930 begitu merepotkan bagi penjajah Belanda. Belanda banyak kuwalahan karena Perang Jawa mendapat dukungan besar dari rakyat Jawa yang nasibnya begitu menderita oleh kesewenangan Penjajah Belanda. Dukungan menyebar mulai Jawa Timur hingga ke Barat. Termasuk di Pemalang daerah sekitar pantai utara Jawa Tengah.

Akibat terus terdesak oleh kegigihan pasukan perang Diponegoro akhirnya Belanda meminta bantuan kepada seluruh “Kanjeng” di wilayah Mataram, termasuk meminta bantuan kepada Kanjeng Suwargi yang pada saat itu menjadi Adipati Pemalang.

Baca Juga :  Tingkatkan Kualitas Humas, Bawaslu Pemalang Gandeng PWI

Untuk membantu menumpas laskar pejuang berarti Kanjeng Suwargi atau Pangeran Suryonegoro harus berhadapan dengan Pangeran Diponegoro saudara sepupunya sendiri. Situasi yang rumit. Bisa dipahami sebab manusia Jawa mengenal istilah “tega larane ora tega patine” masih bisa menyaksikan sakitnya saudara tetapi tidak sanggup untuk menyaksikannya mati”.

Guna mengindari terjadinya perang dengan saudara sendiri, terutama antara rakyat- di daerah Pangeran Suryonegoro dengan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro maka Raden Padmonegoro Adipati Pekalongan menyarankan agar Pangeran Suryonegoro beserta keluarganya untuk segera menyingkir dari bumi Pemalang. Kisah ini terkesan misterius. Dalam kisah sejarah lain Adipati Pekalongan dan Batang cenderung dianggap daerah anti terhadap perjuangan Diponegoro. Apakah saran itu benar adanya atau sebagai siasat atau justru sebaliknya untuk menyingkirkannya. Apakah yang dilakukan Adipati Pekalongan sebagai tindakan membantu atau menyingkirkan yang berarti kontra, semua belum dapat dikonfirmasi pasti, (bisa jadi benar bisa jadi salah).

Namun kebenaran sejarah perang juga biasanya tertanam dalam ingatan rakyat yang setia. Dalam kisah dari kalangan rakyat di Pemalang (bukan sejarah mainstream), Raden Patmonegoro mengantar Pangeran Suryonegoro beserta keluarganya untuk pergi ke “alam ghaib” yaitu alam Sigeseng untuk menetap di sana. Selanjutnya Raden Padmonegoro kembali ke Pekalongan.

Untuk menghindari kungkungan dan kejaran pemerintah Belanda saat itu, maka Raden Padmonegoro berpura-pura meninggal dunia. Kemudian secara diam-diam pula beliau pergi ke Pemalang. Siasat rahasia itu dilakukan untuk mengelabuhi (desepsi) kepada Belanda. Lebih jauh, Raden Padmonegoro mengganti namanya menjadi Mbah Nurbesari.

Jika melihat sifat kerahasiaan dan misteriusnya siasat yang dilakukan, maka kisah yang ada di masyarakat Pemalang khususnya Dusun Kebumen inilah yang logis alurnya. Dapat dipahami dalam nalar darurat saat itu seorang tokoh apalagi bertanggung jawab atas satu wilayah maka harus selalu rahasia dalam tindakannya terlebih jika itu mendukung musuh penguasa kolonial.

Menjadi Ulama Mendirikan Pemukiman

Suatu ketika, Raden Padmonegoro (Mbah Nurbesari) menemui saudaranya yang bernama Mbah Nur Ishak yang sedang mendapat tugas dari gurunya Ki Gede Cempolo Kesesi.
Yaitu suatu tugas membuka hutan (babat alas) Kebumen untuk dijadikan desa atau pemukiman.

Saat Mbah Nurbesari menjumpai Mbah Nur Ishak ternyata keadaan Mbah Nur Ishak sedang dalam keadaan sakit. Sakit lahiriah dan ghoib. Beliau setiap waktu harus berhadapan dengan makhluk halus sebagai ‘danyang’ penguasa hutan itu.

Mbah Nur Ishak meminta kepada saudaranya Mbah Nurbesari untuk membantu memyembuhkannya. Singkat cerita Mbah Nur Ishak pun sembuh.

Baca Juga :  Plt Bupati Pemalang Bakal Binasakan ASN Nakal

Namun tugas yang diembannya tak bisa diteruskan. Tugas babat alas membuat pemukiman pun dipercayakan kepada Mbah Nurbesari. Alhasil, Mbah Nurbesari berhasil membabat hutan dan menjadi sebuah pemukiman.

Mbah Nurbesari mengingat perjuangan Mbah Nur Ishak dan menjadikan nama-nama daerah barunya dengan nama anak-anak Mbah Nur Ishak yaitu: Mbah Gemek, Mbah Kesemek serta Mbah Krajan.

Gemek yang berarti gemi atau pekerja keras berlokasi di sebelah timur sungai dan selatan Masjid. Wilayah kedua wilayah Kesemek yang maknanya kesucian atau keputihan kesemuanya berlokasi di sebelah barat sungai. Wilayah ketiga wilayah Krajan sebelah timur dan utara masjid. Wilayah Krajan inilah yang dijadikan pusat pemerintahan dan perdagangan.

Dalam mengatur kehidupan desa Mbah Nurbesari sangat terbuka bagi pendatang. Terhadap para pendatang ditempatkan lokasi tinggalnya disesuaikan dengan kecendeungan dan karakter masing-masing.

Kalau pendatang seorang petani dan pekerja keras maka ia akan di tempatkan di wilayah Gemek yang di harapkan akan menjadi bibit ekonomi yang kelak akan bisa mendongkrak roda perekonomian. Kalau yang datang adalah ahli agama seperti santri, ulama atau kyai maka akan di tempatkan di wilayah Kesemek yaitu untuk mensyiarkan dan mengajarkan ilmu agama. Kemudian, kalau yang datang adalah seorang yang mengerti tata pemerintahan maka akan ditempatkan di wilayah Krajan yang diharapkan nantinya bisa mengatur tata pemerintahan.

Hingga saat ini hal itu masih menjadi ciri khas yang ditinggalkan. Seperti memberi tanda pernah ada seseorang yang khusus di tempat itu.

Saat ini karakter pwnduduk di wilayah itu masih nampak. Wilayah Gemek masih banyak petani yang pekerja keras seperti tukang meret, tukang tandur, tukang ngarit dan lainnya. Wilayah Kesemek banyak alim ulama. Wilayah Krajan banyak yang paham tata pemerintahan seperti perangkat desa, guru, dan pegawai. Ketiga wilayah itu yakni ilayah Gemek, Kesemek dan Krajan saat ini menjadi satu kesatuan bernama Kebumen.

Sekilas tentang ceceran kisah sejarah Perang Jawa di Pemalang ada di kisah Mbah Nurbesari di Dusun Kebumen Kabupaten Pemalang ini. Sebuah kisah tentang sarat ketauladanan patriotik. Seorang bangsawan yang memilih berjuang dan menjadi rakyat demi kemerdekan dan keadilan bangsa dan negaranya. Trah kusumo rembesing madu memilih menjadi trah kusumo rembesing revolusi istilah dari Bung Karno Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. (Wallahu alam bisawab).

Reporter: Teguh
Editor: Redaksi mediakita.co

Artikel Lainnya