Ziarah K.H Noer Ali Pahlawan Nasional Anti Kolonialis dan Komunis di Bekasi

(Makam Pahlawan Nasional Republik Indonesia, K.H Noer Ali Bekasi)
(Makam Pahlawan Nasional Republik Indonesia, K.H Noer Ali Bekasi)

Jakarta. Mediakita.co (Rabu, 30/9/2020). Banyak yang tidak tahu sosok ulama patriotik Pahlawan Nasional dari Bekasi ini. K.H Noer Ali ulama pejuang yang gigih melawan penjajah bangsa Indonesia. Atas jasanya pada negara tanggal 9 November 2006 K.H Noer Ali dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden: Keppres Nomor 085/TK/2006, tertanggal 3 November 2006. Pemerintah RI juga menganugerahinya Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.

Gelar ‘Kiai Haji’ sebenarnya didapat dari Bung Tomo pemimpin BPRI Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia saat perlawanan Bangsa Indonesia terhadap agresi militer Belanda. K.H Noer Ali selain ulama, pendekar, politisi juga tentara berpangkat Kolonel yang juga di masa revolusi menjadi pemimpin Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya. Dalam buku “Kemandirian Ulama Pejuang K.H Noer Ali karya (Ali Anwar: 2015), disebutkan ia seorang ulama yang sangat nasionalis anti kolonialis. Dalam beberapa catatan lain disebutkan K.H Noer Ali anti komunis. Uniknya meski begitu ia pun dekat dengan kalangan pejuang merah putih yang diketahui berhaluan sosialis seperti Bung Tomo. Kedekatan perjuangan karena sama anti penjajah tidak serta merta berarti sama dalam ideologinya. Tetapi kedekatan para tokoh itu bisa menjadi bahan baku untuk senantiasa silaturahmi, berbeda tak berarti tak ada kerjasama.

Sekilas Bung Tomo yang disebut memberi gelar Kyai Haji kepada K.H Noer Ali, Bung Tomo dikenal lebih dekat afiliasi ke Murba dengan tokoh utama Tan Malaka yang di era revolusi paska Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 lebih pada tekad perjuangan revolusi permanen non perundingan dengan Belanda. Sikap yang berbeda dengan kelompok Perdana Menteri Syahrir yang menghendaki perundingan, mengingat tidak mungkin membiarkan rakyat bersenjata bambu runcing melawan Belanda dan Sekutu yang dengan senjata modern yang canggih. tetapi sesungguhnya lebih dari itu, ada pertimbangan lain yang menjadikan perbedaan antara yang di pemerintah dengan kelompok Murba yang di luar pemerintah pada saat itu (Soebadio Sastrosatomo: 1987).

Bagi yang berminat ziarah ke Makam Pahlawan Nasional K.H Noer Ali tidak membutuhkan waktu lama dari Stasiun Kereta Api Kota Bekasi ke lokasi. Berada di Komplek Pondok Pesantren Attaqwa Putri yang dirintis olehnya sejak muda, berada di Kampung Ujung Harapan Desa Bahagia, Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

Dijuluki Singa Sampai Belut

Bacaan Lainnya

K.H Noer Ali dapat julukan Singa Karawang-Bekasi dimasa Revolusi Nasional Kemerdekaan Indonesia. Disebutkan dalam buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21 (Rahmad Zailani Kiki dkk: 2011), mulanya ia berguru hingga ke Arab. Disana Arab Noer Ali aktif dalam pelbagai organisasi orang-orang Jawi (Melayu), seperti Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia, Perhimpunan Pelajar Indonesia-Malaya, serta Persatuan Pelajar Betawi. Sebelum kembali ke tanah air diberi amanat gurunya di Arab Syekh Ali al-Maliki yang meneguhkan semangat anti-kolonialisme, “Kalau kamu ingin pulang, silakan pulang. Tetapi ingat, jika bekerja, jangan menjadi seorang penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridha dunia-akhirat.” Sepulang di tanah air ia dirikan Pesantren At-Taqwa yang menjadi tempat menyebarkan ilmu-ilmu agama sekaligus menanamkan semangat melawan penjajahan, sehingga pesantrennya selalu diawasi intelijen pemerintah kolonial.

Satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, KH Noer Ali ikut terlibat memimpin ribuan barisan dari Bekasi untuk turut serta dalam pertemuan akbar di Lapangan Ikada. Ia dekat dan bersahabat dengan tokoh-tokoh seperti Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Kisah legendaris K.H Noer Ali adalah saat membentuk sekaligus mengomandoi Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah untuk Jakarta Raya. Pasukan Belanda sering kesulitan untuk menangkapnya, sehingga ia juga dapat julukan kedua, “Belut Karawang-Bekasi.”

(Makam Pahlawan Nasional Republik Indonesia, K.H Noer Ali Bekasi)
(Makam Pahlawan Nasional Republik Indonesia, K.H Noer Ali Bekasi)

Anti Komunis Anti Kolonialis

Terdapat kisah perseteruannya dengan komunis, dan ia termasuk yang tidak cocok saat Soekarno membiarkan PKI di dalam pemerintahannya. Pada 1963, ia hampir ditangkap lantaran dituding mendukung DI/TII dimana Pesantren at-Taqwa sempat dikepung sejumlah aparat namun K.H Noer Ali tidak takut sedikit pun. “Sekarang kita geledah kampung ini. Kalau terdapat anggota DI, tembak saya. Tapi kalau enggak dapat, ente yang ana tembak,” tegas Kiai Noer Ali kepada sejumlah petugas yang hendak memeriksa pesantrennya.

K.H Noer Ali disebut juga sebagai tokoh pejuang yang berada di balik Peristiwa Rawagede. Ia dekat dengan tokoh pejuang yang dikenal dengan “Begundal” Kerawang-Bekasi Lukas Kustario. Peristiwa Pembantaian Rawagede oleh tentara kolonial Belanda memakan korban rakyat sipil pribumi hingga 400 orang meninggal. Tragedi ini disebutkan berawal dari “perang urat syaraf” antara K.H Noer Ali yang perintahkan pasukannya bersama rakyat di Tanjung Karekok Rawagede untuk membuat Bendera Merah Putih kecil dari kertas. Ribuan bendera itu kemudian ditancapkan di pohon dan rumah penduduk dengan tujuan bangkitkan moral rakyat di tengah agresi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Akibat aksi itu Belanda menduga itu ulah tentara kemerdekaan dan mencari Lukas Kustario sang “Begundal” Kerawang-Bekasi. Sedikit mengenai Lukas Kustario ini awalnya berangkat dari Madiun bersama 120 tentara karena diminta Presiden Soekarno untuk menjaga keamanan (Tempo: 1992). Belanda terus mencari dan saat tidak berhasil menemukan tentara kemerdekaan maka kemarahannya dilimpahkan kepada warga sipil dengan langsung membantai 400 orang warga sekitar Rawagede yang dikenal dengan laporan De Exceseen Nota. Belakangan 14 September 2011 melalui Putusan pengadilan Den Haag mengabulkan tuntutan keluarga korban kejahatan perang di Desa Rawagede, Kerawang, Jawa Barat dimana Kerajaan Belanda diwajibkan bayar kerugian ke 400 keluarga korban pembantaian dan kejahatan perang itu.

Ulama, nasionalis, anti komunis, pendekar Betawi, tentara, politisi, tokoh pergerakan bawah tanah dan entah apalagi yang belum terekspose dari sosok K.H Noer Ali pendiri Kabupaten Bekasi ini. Belajar dari sejarah, ziarah menghadiahi mereka yang berjuang untuk bangsa dan negara ini, Al fatikah.

Penulis : Janu Wijayanto/ mediakita.co

Pos terkait