Oleh : Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah)
SAYA punya tiga sahabat. Yang pertama namanya Agus Gondrong, Wisnu Brata, dan satunya lagi Agus Tidak Gondrong. Ketiganya ini petani tembakau dan kepala desa asal Temanggung. Mereka lah yang selalu nyereweti saya soal tembakau sejak saya jadi gubernur.
Sudah jadi kebiasaan mereka datang kepada saya saat sedang susah. Misalnya ketika panennya njeblug, dan pupuk langka atau mahal.
Kalau sudah begitu biasanya saya datang ke Temanggung. Berdialog dengan para petani, memerintahkan dinas terkait menyediakan pupuk dan menelepon pabrik pupuk. Atau mendatangi pabrik rokok agar lebih memperhatikan harga beli supaya tinggi.
Setelah persoalan bisa diatasi, biasanya mereka tidak cerewet lagi.
Nanti mereka akan cerewet dan marah-marah lagi pada musim panen. Baik karena harga beli dari pabrik rokok yang rendah, atau jadwal pembelian tembakau dari pabrik yang tidak sesuai harapan.
Petani minta hasil panen segera dibeli, tapi pabrikan mempunyai polanya sendiri.
Sudah tiga tahun ini saya selalu hadir di Temanggung untuk memediasi dua kelompok (petani dan pabrik) yang saling membutuhkan ini. Untuk tahun ini isunya lebih seru. Karena persoalan pertembakauan dibumbui dengan isu naiknya harga rokok yang katanya sampai Rp 50 ribu itu.
Cara pandang mereka para petani ternyata berbeda dengan pemerintah. Mereka bertanya pada saya, “Pak Gubernur kenapa harga rokok harus naik, nanti pembeli berkurang dan tentu pabrikan akan mengurangi jumlah pembelian tembakau, lha nasib kami bagaimana?”
Mereka, para petani tembakau itu bukan petani yang bodoh. Mereka selalu memantau pergerakan tembakau di seluruh dunia lewat internet.
Bukan mengada-ada karena sahabat saya yang bernama Agus Gondrong itu adalah kepala desa Campurejo, Tretep, Temanggung, yang terkenal sebagai desa cyber. Jaringan internet di sana mereka manfaatkan betul untuk “perang” tembakau.
Saya ingat, awal-awal saya jadi gubernur diundang dalam perbincangan di Kompas TV. Terus terang waktu itu saya agak tidak enak. Sebagai gubernur baru, saya harus berhadap-hadapan dengan menteri kesehatan dan YLKI yang juga hadir.
Saya diberi tugas oleh para petani untuk menjelaskan kondisi pertembakauan di Jateng kepada menteri dan YLKI. Bukan tugas sembarangan karena para petani itu telah memberi gelar pada saya sebagai Senopati Tembakau.
Gelar itu saya pahami sebagai amanat dari satu komunitas petani tembakau yang mengharapkan ada orang tua yang selalu membela dan melindungi.
Namun dalam perdebatan di Kompas TV, sahabat-sahabat tembakau saya ini menyampaikan pendapat yang mengejutkan. Ada salah seorang yang mengatakan bahwa YLKI yang sangat menolak rokok ini ternyata dibiayai oleh Bloomberg.
Saya tanya data itu dari mana, ternyata petani-petani ini dapat data dari searching di internet. Dan belakangan YLKI mengakui soal itu.
Lain waktu, para petani ini menyampaikan pada saya data yang lagi-lagi mengejutkan. Bahwa ketika pemerintah ingin mengganti tembakau dengan komoditas lain seperti kopi dan kayu manis, ternyata impor tembakau Indonesia makin hari makin meningkat.
Kemudian, ketika petani Temanggung merana, industri tembakau besar di Tiongkok sekarang ini menanam bibit tembakau dari Temanggung. Miris melihat hal ini.
Apalagi tersaji data bahwa impor tembakau Indonesia terbanyak berasal dari Tiongkok. Maka bisa jadi beberapa tahun lagi, tembakau yang kita impor dari Tiongkok adalah tembakau varietas Temanggung.
Dalam kacamata gubernur, saya reflek berfikir dari sisi kebijakan. Ini ironi bagi Indonesia yang dianugerahi kesuburan luar biasa. Tanah air yang kita cintai ini bisa ditanami apapun.
Ketika rakyat memanfaatkan anugerah Tuhan dengan menanam berbagai komoditas, maka harapannya pemerintah memberikan perlindungan.
Setiap komoditi memiliki value dari ekonomi hingga budaya yang bisa dikemukakan. Termasuk juga tembakau. Ada kira-kira empat juta petani dan pekerja yang menggantungkan diri pada tembakau dan rokok.
Ada yang berpendapat rokok keretek adalah heritage kebanggaan Indonesia. Akankah semua ini kelak akan hilang dan hanya menjadi bagian dari sejarah bangsa?
Dengan ini saya tidak membela rokok, perokok, apalagi pabrik rokok. Saya malah menantang. Kalau memang merokok diyakini sebagai musuh terbesar bagi kesehatan.
Jika memang pendapatan negara yang luar biasa besar dari pabrik rokok dan cukai rokok dianggap sudah tidak penting. Maka hapuskan saja tembakau dari tanah air, larang pertanian tembakau dan alihkan petani ke komoditi lain, lalu tutup semua pabrik rokok.
Namun bicara tembakau tidak harus bermuara pada rokok. Karena beberapa bulan ketika ke Den Haag, saya ngobrol dengan mahasiswa Indonesia yang sedang studi S2 dan S3 di Belanda.
Ada delapan mahasiswa yang bercerita bahwa dalam risetnya mereka berhasil membuat vaksin berbahan dasar tembakau.
Dari dalam negeri, kita sudah mendengar para peneliti yang berhasil mengubah tembakau menjadi obat bermacam-macam kanker.
Dari cerita ini, tidakkah kita pernah berifikir untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi isu tembakau ini. Saya bermimpi pemerintah pusat membangun tobacco center di Temanggung. Dalam skala kecil, bupati Temanggung telah melakukan itu.
Saya bermimpi tembakau Temanggung menguasai Bremen, sebagai pusat tembakau dunia.
Maka riset dan pengembangan budi daya tembakau menjadi penting untuk masuk dalam agenda pemerintah.
Mungkin sebagai langkah pertama, soal riset ini bisa dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan.
Oh ya, saya bertanya-tanya mengapa RUU yang sudah berjalan lebih dari lima tahun ini seakan susah sekali goal-nya. Seperti ada pihak-pihak yang tidak ingin RUU Pertembakauan ada.
Padahal RUU Pertembakauan adalah perangkat penting untuk melindungi petani dan tembakau lokal.
Untuk membatasi impor, misalnya, RUU telah mencantumkan kewajiban pelaku usaha menggunakan tembakau lokal minimal 80 persen. Pelaku usaha yang melanggar akan dikenai pajak bea masuk progresif.
RUU juga membatasi kepemilikan saham asing di seluruh badan usaha yang berbasis tembakau maksimal 30 persen.
Saya menulis ini untuk mengajak anda bersama-sama memikirkan nasib sahabat-sahabat saya para petani tembakau. Meski mereka memang merepotkan. Hanya datang saat susah dan ketika senang saya dilupakan.
Saya justru berangan-angan mereka amnesia permanen pada saya. Lupa pada kemarahan dan tak ingat lagi untuk cerewet setiap tahun.
Semoga segera tiba suatu masa di mana lupanya petani tembakau pada saya itu bersifat permanen. Karena itu berarti petani tembakau seluruhnya hidupnya sudah senang. Panen bagus, harga tinggi, dan mereka hidup sejahtera bersama keluarganya yang bahagia.
Salam…