Jejak Sejarah : Pangeran Purbaya “Banteng Mataram” di Pemalang

“ Saya mengerti Pangeran. Jika itu maksudnya, apa bedanya dengan saya yang hendak menyampaikan ?”

“ Jelas berbeda kisanak. Karena dengan begitu berarti akan butuh waktu lama lagi untuk mendapatkan jawaban”

“ Tidak, saya akan pastikan agar jawaban dari sinuhun dalam waktu yang secepatnya bisa sampai Mataram”

“Itu tidak mungkin”, tegas Purbaya membentak. Kali ini suaranya sudah benar-benar terdengar marah.

“Mungkin”

Bacaan Lainnya

“Tidak”

“Mungkin”

“Tidak, sekali lagi tidak”, timpal Purbaya mengakhiri kata yang saling bersautan.

“Atau Pangeran punya rencana lain ?”

“Maksud kisanak ?”

“ Pangeran mau menyerbu wilayah Kesultanan kami ?”

“Tidak. Itu bukan titah paduka. Saya hanya di utus untuk menanyakan upeti”, jawab Purbaya agak sedikit merendahkan suara.

“ Kalau benar begitu, maka cukup lewat saya”, diam sesaat.

Paselingsingan melanjutkan, “ Saya minta Pangeran kembai saja ke Mataram”, pinta Paselingsingan sambil menujukan jari ke arah timur.

Mendengar ucapan Paselingsingan yang bernada mengusir, Pangeran Purbaya nampak tersinggung. Dengan senyum sinis, ia mendekati Paselingsingan lebih dekat. Hanya berjarak sekitar sedepa tangan, dengan jari menuding ke arah dada Paselingsingan, Purbaya menegaskan sikapnya, “ Jangan coba-coba menghalangi kami, camkan itu !”. Perdebatan itu terus berlangsung. Sesekali mereka saling bentak, saling tunjuk, saling pelotot, namun tak jarang juga terdengar suara terkekeh, seperti suara tertawa yang sinis.

Sudah beberapa jam, perdebatan mereka tak berujung pangkal.

Rupanya, dihati mereka sudah diselimuti rasa saling curiga. Rupanya, Paselingsingan dan bahkan Kesultanan Cirebon curiga bahwa kedatangan Pangeran Purbaya tidak sekedar mau menagih upeti. Sebagai Panglima perang, kehadiran Purbaya dianggap sebagai ancaman. Menurut Paselingsingan, Sultan Girilaya dan penasehatnya sudah mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Dan karena itulah maka dia mendapat perintah untuk menghalau kedatangan Purbaya. Bagi Paselingsingan, Pangeran Purbaya harus berhenti hanya sampai Pemalang saja. Jika bisa diminta kembali ke Mataram, itu lebih baik. Tapi jika tidak, maka ia telah bersumpah untuk mempertaruhkan jiwa raganya. Demikian halnya bagi Pangeran Purbaya, tak ada seorangpun bisa menghentikan langkahnya. Bertemu dengan Sultan Girilaya, baginya adalah sudah menjadi keputusan wajibnya seiring dengan jatuhnya mandat Panembahan Senopati kepada dirinya. Hanya satu hal yang bisa menghentikan langkahnya, Maut !

Menjelang matahari terbenam, perselisihan diantara mereka sudah mulai menunjukan sikap yang saling bermusuhan. Tidak sekedar adu mulut saja, lebih dari itu, mereka mulai unjuk diri dengan mengeluarkan beberapa sikap yang tak lebih dari upaya unjuk ilmu kanuragan. Hal itu bisa dilihat ketika Pangeran Purbaya mengeluarkan kata sumpah serapah sambil membuka ikat kepalanya, lalu disabetkan ke pohon jati yang sebesar badan orang dewasa. Dengan seketika, pohon jati itu tumbang dengan suara menggelegar seperti bunyi petir. Sebaliknya, Paselingsingan menyambutnya dengan gejog bumi (menginjakan kaki keras-lkeras kebumi), spontan, bumi hutan jati itu menjadi bergoyang seperti gempa.

Menjelang matahari terbenam, aksi yang lebih mirip dengan sikap saling ejek itu, dengan berbagai cara masing-masing, tapi dengan unjuk ilmu seperti sebuah atraksi itu masih berlangsung. Peristiwa padu (adu mulut ), antara dua ksatria penjaga (raksa/reksa) kerajaan di Hutan Jati itu berlangsung sama-sama beraninya itu berlangsung alot dan tidak menemukan ujung pangkal. Unjuk kekuatan sebagai tindakan saling gertak pun tidak bisa mengahiri perselisihan mereka. Suatu ketika, sebelum akhirnya benar-benar harus bertempur, Pangeran Purbaya mengatakan sesanti, mbesuk rejaning jaman, desa iki diarani desa Paduraksa, katanya.

Pos terkait