Literakita, mediakita.co – Jika berita bohong (hoak) berkembang dan dikenal luas saat ini barangkali sudah biasa, bagaimana jika itu terjadi di jaman Belanda tentu tidak biasa. Hoax sebagai informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya ternyata juga pernah diproduksi oleh rezim kolonial Belanda di Indonesia. Salah satunya Belanda menyebarkan berita dan informasi bohong tentang asal-usul salah satu Proklamator Indonesia Soekarno atau yang Bangsa Indonesia sering menyebutnya Bung Karno, sebagaimana panggilan untuk kaum pergerakan lain di jamannya seperti Bung Hatta dan Bung Syahrir yang tersohor.
Bung Karno sendiri yang menyebutkan bahwa Belanda pernah menyebarkan kabar bohong tentang siapa sesungguhnya dirinya yang disebutkan sebagai bukan orang Indonesia asli. Soekarno anak haram dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang melakukan hubungan gelap dengan perempuan pribumi dan menyerahkan bayinya untuk diadopsi orang lain.
Hoax yang dibuat kolonial Belanda didasari oleh kebencian terhadap Soekarno yang memuncak di Negeri Belanda. Terjadi di kisaran tahun 1949 Belanda menyebarkan kabar bohong tentang jatidiri Soekarno lewat radio dan Surat Kabar.
“Sukarno adalah seorang yang penuh semangat, dinamis dan berlainan sama sekali dengan tipologi orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir. Sang penulis melanjutkan, Sukarno bukanlah seorang pemalu. Sukarno dapat berbicara dengan lancar dalam tujuh bahasa. Kita harus menghadapi kenyataan-kenyataan dan kenyataannya, Sukarno sebenarnya seorang pemimpin. Segala keadaan dan sifat-sifat yang baik tentang diriku (kata Sukarno) ditampilkan dalam artikel tersebut. Aku segera menyadari maksudnya. Tulisan itu akhirnya ditutup dengan kalimat, ‘Pembaca yang budiman, tahukah anda mengapa Sukarno memiliki sifat-sifat yang luar biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli, itulah penyebabnya. Dia adalah anak haram dari seorang Tuan Kebun dari perkebunan kopi yang melakukan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan pribumi, kemudian menyerahkan bayi itu untuk diadopsi orang lain” (Cindy Adams: 2007, hal. 23).
Darah Pejuang Soekarno
Soekarno dalam dirinya mengalir darah pejuang bangsa Indonesia. Darah pejuang itu berasal dari garis asal usul (nasab) leluhurnya yang merupakan pejuang penentang penjajahan Belanda. Ia menyebut lepas dari garis bapak dan garis ibu berasal dari takdir kalangan bangsawan (Jawa dan Bali) ia menyebut bahwa takdir lainnya adalah takdir darah pejuangnya dalam pengabdian untuk kemerdekaan bangsanya. Takdir pejuangnya itu bukanlah suatu keputusan yang tiba-tiba melainkan sesuatu yang ia warisi dari leluhurnya atau moyangnya.
Moyang Bung Karno dari pihak ibu maupun leluhurnya dari pihak bapak adalah sama-sama mewariskan darah pejuang. Dari Ibunya yang berdarah Bali Ida Ayu Nyoman Rai dengan nama kecil Idayu dengan panggilan Srimben yang berarti limpahan rezeki yang menjadi sumber kebahagiaan dari Bhatari Sri adalah pejuang-pejuang kemerdekaan yang penuh semangat. Moyangnya keturunan Raja Singaraja yang terakhir dan gugur dalam Perang Puputan dimana secara licik telah disingkirkan oleh Belanda, lalu kerajaan, harta, istana, tanah serta semua miliknya dirampas. Setelah Belanda menduduki istana dan merampas semuanya, keluarga dari ibunya jatuh melarat. Hal yang telah menimbulkan kebencian ibu Soekarno kepada penjajahan Belanda tiada habis-habisnya, sebagaimana dikisahkan Soekarno kepada Cindy Adams dalam biografi: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Api perlawanan terhadap penjajahan Belanda itu nampaknya diwariskan langsung oleh Sang Ibu melalui cerita langsung, lazim di kalangan Jawa (dan bisa jadi Nusantara) tradisi lisan menceritakan sejarah penting asal-usul leluhur biasanya memang dikisahkan. Terlihat dari cara Soekarno menceritakan kembali dengan penggambaran yang hidup khas gaya dongeng berikut:
“Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah musnah dan tentaranya tidak dapat menakhlukkan lawan, maka dengan sisa-sisa pasukan yang masih punya cita-cita, dia mengenakan pakaian serba putih dari kepala sampai ke kaki, lalu menaiki kudanya. Dengan masing-masing menghunus keris, mereka menyerbu musuh. Mereka ditumpas” (Cindy Adams: 2007, hal 24). Bagi yang hobi film India tentu terbayang kisah-kisah kolosal pejuang India yang berpakaian serba putih khas pakaian tradisional melawan kolonialisme yang penuh simbol “Barat”, kebayang kan, seperti film perang kolosal Bollywood. Jadi kepikiran banyak tema kolosal patriotik di Indonesia semestinya bisa jadi film keren ya?
Moyang Bung Karno dari garis bapak juga mengalir darah pejuang. Disebutkan olehnya bahwa nenek dari nenek Raden Soekemi Sosrodihardjo ayah Bung Karno (yang berarti kalau di Jawa istilahnya eyang canggah dari Raden Soekemi Sosrodihardjo, atau berarti eyang wareng Bung karno atau moyang tingkat ke-5 dalam silsilah keluarga dalam budaya Jawa), eyang putri wareng Bung Karno merupakan “memiliki kedudukan di setingkat bawah seorang putri yang merupakan pejuang pendamping daripada pahlawan besar kami, Diponegoro. Bung Karno menyebut Diponegoro sebagai pahlawan besar kami (mengandung tafsir dari dalam/ kalangan dalam perjuangan Diponegoro).
Jika kita membayangkan gambaran dari cerita sejarah apa yang terkenal dengan sebutan Perang Jawa yang terjadi 1925-1930 baik dalam gambaran dari Babad Diponegoro (2016) maupun kisah Diponegoro lainnya, sebagaimana buku “Aku Pangeran Dipanegara” karya Tarumetor T.S (1967) kita akan dapat terbantu terhubung imajinasinya dengan apa yang dituturkan oleh Soekarno tentang kisah moyangnya itu.
Buku semacam itu memang di era kepemimpinan Soekarno sendiri banyak ia anjurkan agar dijadikan kisah-kisah patriotik yang diterbitkan guna membangun jiwa patriotisme Bangsa Indonesia. Dari gambaran dari buku-buku semacam itu kita bisa dapati (mengimajinasikan) sosok perempuan (putri) penasihat perang Diponegoro yang terkenal sebagaimana kisah Nyi Ageng Serang. Figur pejuang perempuan ahli strategi yang kini makamnya ada di Lereng Timur Bukit Menoreh, masuk wilayah Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Sosok pahlawan perempuan yang terkenal gigih melawan penjajah Belanda itu terkenal dengan Laskar Gula Kelapa atau Laskar Merah Putih. Beliaukah moyang Bung Karno?
Lagi-lagi Bung Karno dengan luwesnya memberi narasi tutur tentang moyang pejuangnya dari garis bapak sebagai pejuang putri penasihat Diponegoro itu dengan begitu hidup: “Dengan menunggang kuda dia berjuang di belakangnya (Diponegoro) sampai menemui ajalnya dalam Perang Besar Jawa, yang berkobar dari tahun 1925 sampai tahun 1930”. Model tuturan lisan itu ternyata terkonfirmasi dengan pengakuan Soekarno masih di buku Cindy Adams: “Sewaktu aku anak-anak belum ada televisi atau kisah-kisah Wild West tapi aku mendapat cerita-cerita mengenai kebangsaan dan kepahlawanan. Aku bersimpuh di dekat kaki Ibu berjam-jam untuk mendengarkan cerita-cerita menarik dari pejuangan melawan penjajahan di keluarga kami”.
Saya yang suka film kolosal India membayangkannya seperti di film Bollywood: Manikarnika: The Queen of Jhansi tahun 2019. Kapan ya Indonesia bikin epoh besar pahlawan bangsanya jadi film yang keren-keren. Kapan-kapan semoga kejadian.
Disarian oleh: Janu Wijayanto
Referensi:
1. Cindy Adams, (2007), Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Edisi Revisi), Yayasan Bung Karno, Jakarta
2. Pangeran Dipanegara, (2016), Babad Diponegoro, Penerbit Narasi, Yogyakarta
3. Tarumetor, T.S (1967), Aku Pangeran Dipanegara, Penerbit Gunung Agung, Jakarta