Kala itu, ia masih ingat ketika ibunya memanggilnya dengan nama Jaka Umbaran.
Sekembalinya dari Kesultanan Mataram, ia meminta ibunya untuk menyarungkan pusaka ligan. Itu pesan Kanjeng Panembahan Senopati, yang dititipkan kepadanya. Menurut Sultan, itu syarat untuk menjawab siapa sebenarnya dirinya. Jika pusaka itu berhasil dimasukan dalam kerangkanya, berarti benar ia purtanya. Benar bahwa ia sejatinya adalah seorang Pangeran, Putra dari Raden Danang Sutawijaya, Raja Mataram saat ini, yang bergelar Panembahan Senopati.
Mendengar permintaan anaknya, Roro Rembayung bergeming. Kedua matanya berlinang airmata. Tatapanya nampak melangut kosong. Seketika itu, wajahnya pucat pasi. Jari-jari tangannya bergetar, mengisyaratkan sedang meredam kata hatinya yang tak sanggup terucapkan.
Dengan mimik wajah gulana, Rara Rembayung lalu mengajaknya pergi. Pergi ke dalam Hutan. Disebuah telaga, Roro Rembayung mengambil air untuk bersuci. Setelah itu, masih dengan raut muka yang menyimpan sejuta bahasa, Rara Rembayung menyampaikan pesan. Ia tak menyangka, itulah pesan terakhir yang ia dangar dari ibunya.
“Ngger anakku, Jaka Umbaran”, ingat Purbaya mendengar ibunya tiba-tiba berucap dengan suara serak dan bergetar.
“Sebelum pusaka ligan kusarungkan, ada satu permintaan kepadamu. Kelak, apabila engkau telah diakui anak dan telah mendapatkan ganjaran dari Sutawijaya, Tolong, jangan sampai engkau pernah lupakan pepunden ibumu ini”, pintanya. Permintaan itu disampaikan karena Roro Rembayung sadar dirinya hanya seorang wanita biasa, wanita dari desa Giring, wanita yang bukan dari trah keturunan raja.
“ Iya ibu”
“Baiklah”, terdiam sesaat, “ Sekarang jadilah saksi atas janjimu itu,” tukas Rara Rembayung sambil mengangkat pusaka ligan. Dan, diluar dugaan , sang ibu justru menghujamkan pusakanya ke dadanya sendiri. Saat itu, ia teringat betul ketika mencoba menghalau dengan mloncat dan menubruk ibunya. Tapi semua sudah terlambat, keris ligan itu sudah menancab di dada Rara Rembayung, hingga tewas seketika. Kematian ibunya, Rara Rembayung, menjadi saksi dan membayar lunas untuk memenuhi janjinya pada Kanjeng Panembahan Senopati, Suaminya.
Usai memakamkannya jasad ibunya, ia tidak langsung menghadap Panembahan Senopati. Hatinya yang rapuh karena ditinggal ibunya dengan cara tragis. Purbaya merasa bersalah, semua ini terjadi karena dirinya. Disaat itulah, ia memilih mencurahkan hatinya kepada kakeknya, Ki Ageng Mangir. Setelah mendengar apa yang ia diceritakan, kakeknya berujar, “Ketiwasan cucuku. Kakek tau perasaanmu. Tapi ketahuilah, jodoh dan pati seseorang, semua sudah menjadi titahing Gusti kang Maha Agung. Tak usah engkau sesali dan ratapi apa yang telah terjadi”.
“ Apa yang dilakukan ibumu, semata-mata demi cintanya kepadamu,” ungkapnya, lirih dan pelan. Setelah mngatakan itu, kakek Mangir berusaha bangkit dari tempat duduknya dan berjalan dengan berpegangan ujung meja. Usianya yang tergolong uzur, nampak bergetar saat menyangga beban badannya saat berdiri. Didepan jendela, kakek berhenti. Dibuka ke dua jendela rumah tua itu. Suara engselnya mengeluarkan bunyi seperti suara tangisan.
“ Ibumu telah memberi pelajaran, bahwa untuk menjadi manusia yang terhormat, manusia pinunggul, maka pantang mengingkari janjinya. Walaupun harus dibayar dengan nyawa sekalipun”, jelasnya dengan pandangan mata masih ke arah luar jendela.
Dengan penuh khidmat, ia mendengarkan apa yang mau dikatakan kakeknya. “ Maka jangan kau sia-siakan pengorbanan ibumu”.
Kakek membalikan badan, matanya menatap tajam dengan wajah yang bersungguh-sungguh. “ Sekarang pergilah ke Mataram dan jadilah anak yang berguna bagi orang tuamu, orang lain, dan berguna bagi kerajaan agar arwah ibumu tenang di alam sana,” pintanya, dengan nada suara sedikit membentak dan jari menuding ke wajahnya.
Diatas, seekor burung terbang dari pohon beringin samping makam Ki Ageng Sembung Yuda. Sayapnya mengelepak, meretas untaian dedaunan. Purbaya sedikit terperanjat. Ia bergegas berdiri sesaat setelah bunyi burung terbang itu menghentikan ingatannya yang sedang berselancar ke masa lalu.
Dua orang prajurit agak menghampiri Pangeran Purbaya dengan membawa kuda. Keduanya memberi hormat dengan menyembah, dan menyerahkan kudanya. Pangeran Purbaya menaiki kuda putih berkaki separoh warna hitam menuju ke arah selatan. Dengan ikat kepala hitam wulung, pusaka terselip dipinggangnya dan kumis tebal yang menghiasi wajahnya, ia begitu berwibawa. Kesatria yang gagah berani.
Sejak memangku jabatan panglima perang, hampir semua musuhnya selalu berhasil ditekuk dan berlutut dihadapannya. Semua dipaksa menyerah tanpa syarat. Purbaya menjadi tokoh paling ditakuti lawan. Bukan saja sosok kesatrian dengan ilmu kanuragan yang tinggi dan tak terkalahkan, tapi juga karena memiliki taktik perang yang licin dan mematikan. Strategi perangnya sulit dibaca. Selalu memiliki keputusan dengan tiba-tiba yang mengejutkan. Keputusan yang membuat lawan terkecoh dan selalu mati langkah di medan laga. Pangeran Purbaya, Si Banteng Mataram -julukannya.