Di atas kuda, Pangeran Purbaya sesekali memacu kudanya. Pandangan matanya begitu tajam melihat ke depan. Bahkan ketika kudanya berlari melintasi ladang bersemak belukar, tubuhnya seolah terbang diatas alang-alang, menyelinap diantara pepohonan yang yang dilewatinya. Dibelakangnya, beberapa prajurit beriring mengikuti meninggalkan makam itu, bergerak ke arah selatan langsung menuju ke hutan jati.
Sejauh mata memandang ke selatan, hanya beberapa kilometer dari sekitar pantai cilincing, yang terlihat hanyalah pohon belaka, pohon belukar yang nampak diam seperti tak bergerak sama sekali. Tapi setalah dilihat dari jarak yang sedikit lebih dekat, ada kalanya pepohonan itu bergerak, hidup seperti lautan daun. Itulah hutan Jati Pemalang yang hendak dituju.
Hanya dalam waktu kurang dari satu jam, Purbaya beserta pasukannya telah memasuki daerah hutan jati.Tiga orang prajurit dengan sigap memanjat dua pohon jati besar. Gerakannya begitu cepat dan lincah. Mirip seekor kera yang tengah melompat-lompat. Dari atas pohon, mereka seperti berusaha mencari sesuatu. Matanya jelalatan, memutar ke seluruh penjuru mata angin. Tiba-tiba mereka berhenti saat melihat sesuatu dari arah utara. Ada sesuatu yang terlihat berwarna hitam bergerombol bergerak keselatan. Setalah beberapa saat terus dipelototi dengan sesekali salah satu telapak tanganya diletakan diatas kedua matanya, ternyata gerombolan warna hitam itu adalah sebuah pasukan kerajaan yang sebagian nampak menunggang kuda berbulu kehitaman. Setalah benar-benar yakin apa yang dilihatnya, salah seorang prajurit memberi aba-aba dengan bersiul, dan tangan kirinya memberi isyarat kepada kedua prajurit lainnya untuk turun.
“Mereka telah datang Kanjeng Pangeran,” lapornya dengan sedikit terburu-buru dengan kedua telapak tangan menyembah diatas kepala. Kaki kirinya bersila untuk menyangga pantatnya, sementara kaki kanannya hanya ditekuk sekedar untuk menopang jongkokan badannya.
“ Baik, semua mundur ke belakang. Bersiaga ditempat-tempat yang strategis. Tidak usah menunjukan sikap yang reaktif. Tunjukan kepada mereka bahwa kalian tidak hirau dengan kedatangan mereka. Kita lihat saja apa maunya”, tegasnya dengan suara yang lantang memberi perintah.
Seketika itu, bala pasukan Purbaya dengan gerakan serempak langsung menyebar ke belakangnya. Beberapa puluh orang lainnya membagi dengan sendirinya ke bagian kanan dan ke kiri membujur ke depan seperti sedang membentuk pasukan sayap. Beberapa orang bahkan nampak mengambil posisi menjauh, diseluruh lini, sejauh 50 an meter. Mereka sepertinya sudah tau apa yang menjadi kehendak sang pangeran. Di sisi bagian kanan dan kiri, masing-masing hanya nampak 5 orang. Sisanya memilih tempat yang agak jauh dibalik pohon, batu atau bahkan rerimbunan. Demikian halnya yang berada dibelakang, hanya beberapa orang saja yang menampakan diri. Semuanya bersikap biasa. Ada yang berdiri, ada yang duduk, ada pula yang mengurus kuda. Semua seperti tidak ingin menunjukan sikap kesiap-siagaan sebuah pasukan.
Tak lama berselang, terdengar suara salam khas sunda. “ Sampurasun, Assalamu’alaikum”, ucap salah seorang dari mereka. Tak jelas siapa yang mengatakan, tapi suara itu datang dari sebuah pasukan Kesultanan Cirebon.
“Wa’alaikumussalam”, jawab sang Pangeran Purbaya dengan cepat, diikuti beberapa orang prajurit yang berada disebelahnya. Ia langsung berdiri, dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Sesaat setelah pria berkuda warna hitam itu turun dari kudanya dan berjalan menghampiri Purbaya.
“Pangeran Purbaya ?” tanya, pria itu yang kalau dilihat dari pakainnya bisa dipastikan dialah pemimpinnya.
“Ki Paselingsingan ?”, tukas Pangeran Purbaya balik bertanya. Keduanya belum pernah bertemu, tapi mereka sudah saling dengar dan mengenal namanya. Bagi Paselingsingan, nama Purbaya sudah tidak asing lagi. Bukan semata karena ia seorang putra Sultan Hadiwijaya, Purbaya juga sangat dikenal sakti mandraguna, cerdas dan berbudi luhur diseantero nusantara. Bahkan ia dianggap sebagai benteng dan Banteng Mataram. Sebaliknya, bagi Purbaya, nama Paselingsingan baru diketahui setelah ia mendapat laporan dari sisik melik dari Mataram yang ditugaskan di wilayah perbatasan Kesultanan Cirebon. Menurut informasinya, Paselingsingan semula hanya seorang prajurit biasa yang tugas pokoknya menjaga pusaka. Namun karena kesaktiannya, setelah panglima perang Kesultanan Cirebon mangkat, ia diangkat sebagai penggantinya.
Setelah berbasa-basi, kedua kestria itu berjalan berdua, mencari tempat yang agak teduh. Ke arah utara, persis de bibir tanjakan jalan. Mereka memilih sebuah pohon jati di sebalah barat jalan. Dibawah pohon itu mereka nampak berbicara serius. Sementara para pengikutnya tidak membaur, mereka memilih mengambil tempat saling bersebarangan. Pasukan Mataram berada di sebalah timur jalan, sementara pasukan Cirebon berada di barat jalan. Meskipun masing-masing tidak menunjukan sikap yang bermusuhan, tapi kalau dilihat dari pemilihan tempatnya yang berbeda dan seolah saling berhadapan, maka itu pertanda bahwa masing-masing dari mereka menunjukan sikap yang kurang bersahabat.
“ Saya harus bertemu Kanjeng Sultan Girilaya”, kata Pangeran Purbaya setengah berteriak sambil berdiri dan menudingkan jarinya ke arah muka Paselingsingan.
“Saya hanya butuh penjelasam dari paduka Sultan Cirebon, mengapa sudah hampir 2 tahun tidak membayar upeti ke Mataram”, tegasnya dengan tatapan mata setengah melotot.
“Baiklah, kalau memang hanya itu, tujuan yang hendak dibawa kehadapan sultan, nanti saya sampaikan kepada sinuhun”. Jawab Paselingsingan tak kalah keras dan tegasnya.
“Tidak, itu akan jadi bertele-tele. Saya harus bertemu langsung agar tau apa alasan sebenarnya”