Peristiwa Tiga Daerah di Pemalang Pasca Kemerdekaan :  Sejarah Revolusi Sosial

Peristiwa Tiga Daerah di Pemalang Pasca Kemerdekaan :  Sejarah Revolusi Sosial
Peristiwa Tiga Daerah di Pemalang Pasca Kemerdekaan :  Sejarah Revolusi Sosial

PEMALANG, mediakita.co- Pasca kemerdekaaan, di beberapa wilayah pantura terjadi  gejolak sosial sebagai akibat adanya pergantian kekuasaan di mana seluruh elit birokrasi, pangreh praja yakni residen, bupati, wedana, camat dan sebagian kepala desa, didaulat turun dari jabatannya dan diganti oleh aparat pemerintahan baru dari kalangan Islam, Sosialis dan Komunis. Perstiwa ini terjadi pada Oktober hingga Desember 1945, di Kabupaten Brebes, Pemalang dan Pekalongan.  (Anton Lukas: 1989)

Peristiwa di tiga daerah tersebut menjadi catatan sejarah lokal pasca kemerdekaan paling dikenal bagi masyarakat pantura barat, Jawa Tengah.

Sejarah Tiga Daerah

Anton Lukas menyebutkan, “Sejarah Tiga Daerah penting sebagai peristiwa lokal revolusi Indonesia, karena merupakan sebuah revolusi sosial dengan ciri khas tersendiri. Di sini revolusi sosial diartikan sebagai suatu revolusi untuk mengubah struktur masyarakat kolonial/feodal menjadi suatu susunan masyarakat yang lebih demokratis”. Cita-cita tersebut mulai diperjuangkan oleh Serikat Islam di Pekalongan pada tahun 1918, dilanjutkan oleh gerakan PKI lama dan Sarekat Rakyat sampai tahun 1926, namun baru tercapai pada bulan Oktober 1945.

Keberhasilan perjuangan itu tidak terlepas dari kemerosotan kehidupan ekonomi rakyat pedesaan pada zaman kolonial, disusul kemelaratan hebat zaman penjajahan Jepang menyebabkan kemarahan rakyat di tiga kabupaten wilayah pantura barat berkobar untuk melawan elit birokrat dalam aksi-aksi gerakan kemerdekaan sesudah proklamasi 17 Agustus 1945.

Bacaan Lainnya

Ketika itu, rakyat menganggap, para pejabat produk tatanan lama telah menodai rakyat karena menjalankan kebijakan pemerintah penjajah Jepang yang menindas. Kondisi tersebut memunculkan tuntutan rakyat, agar beras setoran rakyat pada musim panen bulan Mei-Juni 1945 yang menumpuk tak digunakan di gudang, untuk dibagikan, namun hal tersebut tak ditanggapi oleh pamong desa dan camat.

Kebijakan paksa menyetorkan padi kepada penguasa Jepang merupakan kewajiban paling berat bagi rakyat diantara banyaknya kebijakan politik penjajahan Jepang pada masa itu. Petani diwajibkan menyetorkan pajaknya kepada negara. Hal itu sebagai akibat kebutuhan beras bagi pemerintah militer Jepang dalam keadaan perang.

Akibatnya, ketegangan politik mulai terjadi. Pada awal bulan Oktober, di Kecamatan Moga, Kabupaten Pemalang, rakyat berkumpul di depan Kantor Kecamatan menuntut agar beras dibagikan. Namun tuntutan warga tidak bisa langsung dikabulkan karena camat tidak di tempat. Akibatnya, rakyat yang berkumpul marah dan melempari gedung dan tempat-tempat penyimpanan padi dengan batu.

Di tiga daerah tersebut, ketegangan politik serupa terjadi dimana-mana. Saat inilah, revolusi sosial di tiga daerah ini mulai terjadi. Penggerak revolusi sosial di tiga daerah ini dikenal dengan sebutan lenggaong, yaitu golongan setengah bandit yang berperan menurunkan pemerintahan desa setempat. Mereka memipin aksi dombreng dan menyerang lurah-lurah semasa revolusi sosial dibulan Oktober 1945.

Contoh kasus dalam buku Anton Lukas ini menyebutkan, kelompok lenggaong di Daerah Comal dikenal dengan sebutan Barisan Cengkrong (arit). Tokohnya bernama Idris, wakilnya Tarbu, adalah seorang buruh tani yang kesehariannya dikenal sering makan di warung pinggir jalan tapi tidak bayar.

Kelompok ini mengangkat Ilham, seorang guru dan bekas anggota Sarekat Rakyat sebagai penasehat Politiknya. Barisan Cengkrong ini menahan lurah Desa Temuireng, memecat Lurah Petarukan yang korup dan membagi-bagikan kain yang didapatkan dari kasur-kasur meraka. Dengan algojo Haji Dimyati, Barisan Cengkrong mengambil alih pabrik gula Petarukan.

Pemimpin revolusioner di Pemalang yang mengerti dan mampu mengelola fungsi dan peran para lenggaong dalam masa revolusi didalam masyarakat pedesaan adalah Supangat.  Supangat mulai terlihat pengaruhnya ketika pergolakan politik penuh anarkhi terjadi di Pemalang.

Minggu kedua bulan Oktober 1945, informasi bahwa orang-orang dari wilayah pedesaan daerah punggung bakal menyerang Kota Pemalang makin menguat. Atas pertimbangan keselamatan, Bupati R.T. Taharjo Sosoro Adi Kusumo harus dimasukkan penjara.

Pos terkait