Jejak Sejarah Pangeran Purbaya “Banteng Mataram” di Pemalang

Jejak Sejarah : Pangeran Purbaya “Banteng Mataram” di Pemalang
Gapura Pintu Masuk Wisata Pangeran Purbaya Desa Surajaya

“ Biarlah bumi hutan jati ini menjadi kesaksian, betapa kalian berdua seorang yang gagah berani. Seorang kesatria pinunggul yang gagah berani, digjaya dan pilih tanding. Untuk mengingat itu semua, sebagai kesaksian atas keberanian kalian, ketangguhan dan kedigjayaan kalian yang sama-sama berani, sama-sama digjaya, tempat ini saya beri nama Surajaya”, tegasnya dengan nada yang penuh suka cita.

Berbekal kemampuan Elang Sutawijaya menuturkan kata dengan bahasa yang bijak dan baik, maka luluhlah hati kedua kesatria pilih tanding itu. Keduanya, baik Pangeran Purbaya maupun Paselingsingan, dibuat menangis hingga tersedu sedan mendengarnya.  Dalam keadaan rapuh jiwa dan raganya setelah bertarung sekian lama, timbul rasa penyesalan yang begitu dalam. Mereka terus menangis hingga air matanya menyeruak mewujud menjadi danau yang hingga saat ini masih ada di wilayah itu. Sesaat timbulnya sebuah danau, munculah bidadari di sekitar danau itu seolah-olah hendak menjemput nyawa keduanya.

Ini menjadi malam ketiga, Pangeran Purbaya tidak beranjak dari tidurnya. Badannya panas dingin. Di atas dipan, cabang kayu jati yang sengaja dibuat para prajuritnya tempo hari, ia terbaring lemas dengan wajah berlumuran ramuan sambetan yang menempel berantakan dikeningnya.  Keringat dingin telah melunturkan ramuan hijau yang yang menghiasi bagian atas alis tebalnya. Ikat kepalanya sudah tidak dipakai lagi. Sekali lagi, ia menyibakan ikat kepalanya yang melintang di leher untuk menyeka keringat dinginnya.

Diluar gubug bambu itu, ia memalingkan wajahnya menatap keluar dari balik pintu yang terbuka separoh. Gelap membias, dengan bayang-bayang pohon yang menghampar. Ia berharap : semoga malam ini terlewati dengan baik tanpa rasa yang menyakitkan badannya. Ia kembali teringat ibunya, ayahnya dan bahkan ke dua eyangnya yang juga guru sejatinya.

Ia teringat, sewaktu kecil dipanggil ibunya dengan nama Joko Umbaran. Baginya, Rara Rembayung adalah seorang ibu yang banyak memberikan inspirasi. Ia begitu bangga terhadap ibunya meskipun hanya anak seorang Ki Ageng Giring, petani biasa dari desa. Belakangan, ia baru tau bahwa darah yang mengalir ditubuhnya adalah darah titisan seorang raja Mataram, Panembahan senopati. Dari ibunya, ia kemudian tahu bahwa dirinya dilahirkan dari kisah cinta yang dibangun antara ke dua kakeknya saat terjadi perebutan wahyu kedaton.

Bacaan Lainnya

Ibunya bercerita, ketika itu Ki Ageng Giring bertempat tinggal di daerah Paliyan Gunung Kidul. Suatu ketika, Ki Ageng Giring mendapatkan wangsit, yang olehnya diyakini sebagai Wahyu Gagak Emprit. Saat itu, Ki Ageng Giring sedang memanjat pohon untuk menyadap gula kelapa.  Di atas pohon kelapa, tak jauh dari pohon yang sedang di panjat, ia melihat ada sebatang pohon kelapa yang selama ini tidak pernah berbuah walau sudah cukup tua. Namun saat itu, dia melihat sedang berbuah satu. Hanya satu saja buahnya. Dari balik pohon itu, ia mendengar suara gaib merasuk dikedua telinganya.

“ Ki Ageng Giring, Ambilah buah kelapa yang sedang kau lihat itu. Jika nanti kau bisa meminum air kelapa itu habis dalam sekali tenggak, maka kelak dikemudian hari anak turunmu akan menjadi Raja Agung di tanah Jawa,” jelas suara gaib itu.

Mendengar suara itu, Ki Ageng Giring bergegas turun dari pohon. Dia berputar-putar, menengok kanan kiri mencoba mencari sumber suara tadi. Dia benar-benar yakin bahwa suara tadi bukan sebuah halusinasi. “Itu suara go’ib. Itu suara wangsit dari Hyah Widi kepada saya. Dan saya harus melaksanakannya sebagai amanah yang harus dijunjung tinggi”, pikirnya, sambil meletakkan tabung yang berisi gula kelapa yang diambilnya seraya cepat-cepat memanjat pohon kelapa yang dilihatnya berbuah tadi.

Setelah dipetik, Ki Ageng berfikir bagaiman cara meminumnya agar habis dalam sekali teguk, sebagaimana pesan suara gaib itu. Masih terngiang ditelinganya, bahwa air kelapa itu harus diminum habis dalam sekali teguk. Dia berfikir  bagaimana caranya sedangkan saat itu, Ki Ageng Giring belum merasa haus. Tak mungkin mampu meminumnya hingga habis. Apalagi dalam sekali teguk, itu tidak mungkin, pikirnya sambil terus mendekpnya buah kelapa, duduk dibawah pohon kelapa itu. Yang terlintas diotaknya, satu-satunya cara hanya menunggu haus. Harus menunggu rasa haus yang sangat agar impiannya tercapai. Dan ahirnya dia memilih pergi bekerja ke hutan yang lebih dlu agar haus. Dia sudah bulat dengan akan meminumnya nanti setelah pulang dari hutan.

Ki Ageng Giring berjalan menempuh jarak puluhan kilometer menaiki perbukitan terjal tanpa membawa bekal. Rasa haus dan lapar meulai meia tahan demi hajat untuk mewujudkan impiannya. Baginya, memiliki keturunan yang bakal menjadi raja-raja di tanah Jawa bukanlah impiannya. Tapi jika itu menjadi sesuatu yang bisa diraih, adalah satu kebanggan yang tak dapat ia gambarkan dengan kata-kata. Terik matahari yang membakar tubuhnya, menjadi kesaksian dari setiap jengkal tanah yang ia lewati tanpa henti.

Siang itu, Ki Ageng Pemanahan hampir tiba di gubuk Ki Ageng Giring. Sudah seumur jagung mereka tidak saling bertemu. Ia berharap bisa bertemu dengan sahabatnya itu, bertukar pikir dan bertukar senyum.

Atap ijuk gubuk yang ditujunya tampak seperti bongkahan hitam. Pintu rumah itu tertutup tetapi tidak di selot.  Pemanahan mendorong pintu yang tidak diselot dengan ujung jarinya. Dan engsel pintu mengeluarkan suara seperti rintihan yang menembus telinga dan memecah keheningan. Saat ia melangkah masuk, langsung tercium olehnya bau apek yang sangat ia kenal. Di bilik dinding rumah persis dibelakang lincak bambu, nampak tergantung sebuah iket wulung milik Ki Ageng Giring. Iket wulung itu seperti menyambut kedatangannya, mewakili Ki Ageng Giring yang masih di hutan. Ki Ageng Pemanahan memang tak asing dengan rumah itu. Ia menatap seluruh sudut ruangan dari sebuah lincak yang ia pilih untuk duduk dedepan pintu masuk rumah tua itu.

Pos terkait