ajibpol
POLITIK

HB Jassin ; Ijtihad Paus Sastra

Hans Masih semangat membaca Pledoinya, kali ini ia duduk sebagai Pesakitan di Kursi Terdakwa. Cerita Langit Makin Mendung yang tercantum di Majalah Sastranya menuai polemik, tidak hanya bungkamnya Hans bercerita Ki Panji Kusmin, si pengarang cerita, pun juga cerpen dianggap meneyerang umat islam. Allah dibayangkan orang tua dengan kacamata kuno. Ia mengizinkan Muhammad dan Jibril, mengadakan riset tentang Umatnya yang semakin jarang masuk surga. Mereka berubah menjadi Elang dan hinggap di Jakarta. Mereka tidak untuk berdakwah, Muhammad diherankan kebejatan Umatnya yang melacur dan menjadi pejabat yang busuk. Muhammad bersua Nasakom yang menjadi sebab diantara sebab.

Diseberang Hans, Jaksa menganggap cerpen ini sebagai penodaan agama, Hamka yang duduk sebagai saksi yang memberatkan (Saksi a charge) turut mengiyakan tuntutan jaksa. Bagi Hamka, Allah tidak pantas digambarkan dengan apapun, dan penggambaran sebagai Bapa, menurut Hamka telah menghina ketauhidan. Hamka bahkan menggelari murtad penanggungjawab majalah. Meski Hamka, mengharap Hans tetap dihukum seringan ringanya.

Hans tidak sendiri dalam membela Langit Makin Mendung, ia didampingi Ali Audah, sastrawan kesayangan Tuhan. Hans menilai, baik Hamka dan Jaksa, tidak melihat maksut dari Langit Makin Mendung yang memang tidak berniat menghina Agama apapun. Hans menilai karya Imajinatif berjarak dari kenyataan, ia tidak bisa dinilai dari kaidah keagamaan. Hans mengajak jaksa memakai kacamata sastra dan logika imajinasi dalam menilai Langit Makin Mendung, Hans cukup kesal dengan sikap kaku jaksa dan berpedoman Logika Hukumnya.

Tuhan, Jibril, dan Sorga dalam Langit Makin Mendung adalah Imajinasi yang tidak bertolak dari ajaran agama, namun murni fantasi Ki Panji Kusmin sendiri. 100 halaman pledoi telah dilalui Hans, Pledoi Hans mengingatkan banyak orang akan Pidato “Indonesia Menggugata” Soekarno di Sidang Landraad Bandung. Dasar apes, Hans tetap dibui 1 tahun dengan percobaab 2 tahun. Sungguhpun begitu, Hans tetap didukung banyak pihak, semisal Umar Kayam, Mochtar lubis, maupun Bahrum Rangkuti

Hans adalah nama kunyah dari Hamzah Bague Jassin ia lebih dikenal sebagai HB Jassin. Si Paus Satsra Indonesia, dia ibarat kamus “sastra” yang berjalan, semua dianggap paling tahu dalam mengenai perkembangan sastra dari masa ke masa. Hans mulai tertarik kepada kesustraan saat bersekolah di HBS Medan, ia mengenal berbagai kesustraan semacam Eropa Barat, Belanda, prancis, Rusia, dan negara lain, minus sastra Indonesia. Pendalamanya ia dapatkan di AMS-A jogja dengan mengenal Kesusastraan Melayu Kuno dan Kesusastraan Jawa Kuno.

Hans memulai kariernya dengan menjadi redaktur di Balai Pustaka (BP) pada 1 Februari 1940, ia mempelajari dan mengumpulkan karya sastra baik dari Pengarang Balai Pustaka maupun Angkatan Pujangga Baru. Hans menambahkan kesibukanya dengan menerjemahka banyak karya semacam Sepoeloeh Tahoen Koperasi (Tien Jaren Cooperatie), karya R.M Margono (1946), Chushingura karya Karim Halim dari bahasa Inggris.

Pidato Bung Karno dihadapan Landraad Bandung berhasil ia “Indonesia”ken dengan beberapa tambahan fragmen kosakata Belanda, kemudian diterbitkan dengan Judul Indonesia Menggugat (1952). Bung Karno begitu kagum dengan usaha penerjemahan Hans, ia tak sungkan mengundang Hans berkunjung ke Istana Presiden di Gambir. Meski dalam Buku Darsyaf Rahman (1986), Jassin cukup kecewa dengan sikap Soekarno yang pernah memarahi pelukis Basuki Abdullah karena lukisanya tak sesuai dengan kemauan Bung besar.

Kemasyuhuranya dalam bidang sastra dan bidang penerjemahan diganjar tawaran mengajar di Fakultas Sastra UI pada 1953. Ajakan oleh Prof Soepomo diiyakan staff pengajar Fakultas Sastra waktu itu, yaitu Nugroho Notosusanto. Hans mengiyakan meskipun tak pandai bicara. Dasar pecinta ilmu, Hans tak sungkan merangkap menjadi mahasiswa Fakultas Sastra. Jadilah Hans berposisi sebagai Dosen sekaligus Mahasiswa !. Hans melanjutkan tawaran dari Prof Soepomo untuk memperdalam Ilmu Sastra di Yale University Amerika selama setahun (1958-1959). Selepas dari Amerika, Hans sering bolak balik keluar negeri untuk keperluan akademis dan mengajar, semacam Nanyang University di Singapura, meskipun pada akhirnya ditolak karena dikhawatirkan menyebarkan benih revolusi. Dia sempat mampir Australia, Amerika utara dan Selatan, dan di Malaysia.

Baca Juga :  Puisi Karya Kustajianto

Hans dijuluki Paus Sastra, Goenawan misalnya dalam Marxisme Seni Pembebasan (2011), menyebut Hans adalah kritikus sastra terbaik Indonesia setelah perang. Ia dijuluki sebagai Paus karena penilaianya begitu didengar para peminat sastra dan para penulis itu sendiri.

Hans dan Asmara

Lazimnya Pria, bukanlah jantan kalau tak taklukan wanita, begitu ungkap seorang kawan. Hans pun demikian, kita bisa membukanya dengan surat kawat antara Hans dan Laila, gadis Solok kandas. Hans sudah berikrar untuk menikahi Laila, namun Hans yang berada di Jakarta harus terbang ke Medan untuk melangusngkan pernikahan, Hans berpikir ulang, karena gajinya tidak bisa mengongkosi biayanya terbang ke Medan. Ia hanya ikhlas, ketika Laila memilih laki laki lain dari Medan.

Kisah berlanjut ketika Tine De Bruin tinggal di rumah Hans, noni belanda ini ditinggal suamniya dinas militer. Hans iba dengan keadaan Tine yang mengasuh 2 anak. Hans yang tergoda dengan Tine sempat berhubungan intim, Tine mengaku hamil, namun ketahuan Hans bahwa hal itu adalah bohong. Tine tersedu karena diusir oleh Hans.

Hans kemudian menikahi yang awalnya pembantu rumah tangganya. Hans tertarik dengan Arsiti yang cekatan dan rapih menyelesaikan tugas tugasnya, meskipun kadang ia direpoti oleh penyair muda yang ingin hidup seribu tahun lagi, Charil Anwar. Ditengah kesibukan mengurus rumah tangga Hans, Charil muda bolak balik meminjam buku di perpus Hans. Dari Arsiti, ia dikaruniai tiga anak, Hanibal dan Mastinah.

Tahun 1962, Hans ditinggal Arsiti, penyakit di perutnya sudah sedemikian parah. Ia menghembuskan nafas terakhir di Cipto Mangunkusumo. Sepeninggal Arsiti, Hans menjadi gemar bertilawah Al Qur’an dan bertambah religius. Hans kemudian menikah dengan Lily, remaja Makassar yang baru menjadi tetangga Hans. Kebetulan keluarga Lily sering berkunjung ke rumah Hans, pernikahan keduanya pun berlangsung meriah. Ia dianugerahi dua anak yaitu, Firdaus dan Helena Magedalena.

“Ijtihad” Hans

Selain Heboh langit makin mendung, Hans yang bukan berlatar belakang Santri ataupun Penganut Islam yang taat, dengan bernai menerjemahkan Al-Qur’an. Sebelumnya, Hans kalut ditinggal Arsiti, Istri tercinta. Setiap malam di rumahnya diadakan yasinan sampai 7 hari lamanya, setelah hari kedelapan Hans kesepian tak ada lagi lantunan ayat suci Qur’an. Hatinya yang tak pernah dibasahi dzikir, terus diapcu untuk mencintai AyatNya. Awalnya Hans berniat memperbaiki terjemahan bahasa terjemahan Al-Qur’an, namun semakin lama ia menitikberatkan kepada keindahan Bahasa Alqur’an sesuai dengan langgam Indonesia.

Karya Hans berupa terjemahan Sastrawi dibuat dengan cara yang tidak gampang, ia sempatkan compare dengan terjemahan Al-Qur’an pada bahasa Inggris, Belanda, dan Perancis. Hans juga wajib melahap The Glorius Qur’an karya Yusuf Ali, sampai Glosssary Qur’an dan Concordancie Corani Arabicae karya Fluegel. IaLangit Makin Mendung membutuhkan waktu dua tahun untuk menerjemahkan Al-Qur’an ketika berada di luar negeri.

Sontak, karya Jassin diapresiasi sekaligus dicaci. Gubernur Ali Sadikin, termasuk orang yang paling depan mendukung Hans. Diikuti Menteri Agama, Prof. Mukti Ali maupun Ketua MUI, K.H Syukri Ghazali. Disudut lain, beberapa yang member kritik semacam Dewan Dakwah Jakarta, maupun tim peneliti khusus. Umunya mereka meragukan kemampua Jassin yang bukan berlatar belakang pondok pesantren, maupun pendidikan Agama yang kuat. Meskipun dalam sebuah forum pertanggungjawaban, Jassin sempat membawa dua kopor berisi buku yang menjadi rujukan penerjemahan Al-Quran.

Baca Juga :  Ganjar Pranowo : Peran Media Dibutuhkan Untuk Kemajuan Daerah

Jassin menjadi sedikit orang yang menerjemahkan Al-Qur’an secara puitis, disamping Rifai Ali, Ali Audah, Taufik Ismail, Ajip Rosidi dan lainya. dengan catatan, yang dilakukan oleh Hans adalah menerjemahakan Al-Qur’an sampai selesai.

Tentu yang paling heboh adalah Langit Makin Mendung dengan nama penulis Ki Panji Kusmin yang dimuat dalam Majalah Sastra No. 8, Th. VI Agustus 1968. Sebagai Kepala Redaksi, ia siap duduk sebagai pesakitan. Seperti disebutkan di muka, cerpen Langit Makin Mendung membuat gempar sastra Indonesia, semacam Polemik Kebudayaan pada medio 1930 antara Sutan Takdir dkk versus Ki Hajar Dewantara cs.

Sumber Polemiknya adalah Hans tak pernah mengakui siapa Ki Panji kusmin itu sendiri. Sehingga menciptakan spekulasi liar di hadapan publik, ia sendiri siap bertanggung jawab. Hans sempat mengutip nama nama besar semacam Dante Alegeri yang mengarang kisah Divina Comedia, sebuah perjalanan spiritual mengunjungi surga dan neraka. Ia diduga terpengaruh karya Ibnu Al Farabi tentang Isra Mi’raj. Hans juga berargumen bahwa penyair Pakistan Muhammad Iqbal, sempat mengganti Jibril dalam Isra Mi’raj dalam Karyanya Javid Nama dengan Jallaludin Rumi, penyair besar pujaanya.

Hans berseberangan dengan Hamka tentang karyanya. Meskipun, ia pernah membela karya fenomenal Hamka tentang “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk” ketika dihabisi oleh Pram dkk. Pram menganggap karya Hamka adalah jiplakann dari buku Magdalena karya Manfaluthi. Namun, Hans yang kala itu bertindak sebagai tim ahli dari Fakultas Sastra UI menyatakan karya Hans adalah asli.

Hans menghormati Hamka sebagai Muballigh sekaligus Sastrawan, namun ia tak sependapat dengan Hamka dalam menilai Langit Makin Mendung. Hans melihat Hamka mencoba mematikan imajinasi manusia yang harusnya bebas dari kaidah agama. Sastra, menurut Hans adalah bagian kebebasan imaji manusia, toh Allah, Muhammad, Jibril, dan Muhammad dalam Langit Makin Mendung bukanlah yang ada dalam Ajaran Islam.

Pusat Dokumentasi

Jejak Hans tidak hanya terangkum dari karya terjemahanan maupun karanganya. Berkat Bantuan Ali Sadikin, tepat pada 28 Juni 1976 berdirilah Yayasan Dokumentasi sastra HB Jassin. Lembaga ini bertujuan mengumpulkan dokumentasi tentang sastra, seni, dan budaya dan ditujukan untuk kegiatan ilmiah dan kegaitan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Berdirinya Pusat Dokumentasi tak lepas Hobi Hans mengumpulkan segala jenis karya sastra. Hans memulai sejak duduk sekolah di MULO, sampai kesempatannya melancong ke berbagai tempat. Koleksinya yang mencapai ribuan membuat ia berifkir untuk dimanfaatkan bagi masyarakat luas. Pernah suatu kali, dokumentasi Hans ditawar sebesar 100.000 dolar dari pihak asing, jumlah yag fantastis kala itu, namun Hans menolak dengan alasan sama dokumnetasi itu milik Indonesia, dan harus tetap tinggal di Indonesia.

Cerita bersedih menghampiri Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang menghimpun banyak karya sastra. Wakil Presiden kala itu, Adam Malik yang sempat berkunjung pada tahun 1983, sempat terkagum lantas gusar, aliran listrik sebagai penerangan dan sumber tenaga dicabut karena tak ada uang untuk membayar, spontan ia urunan dengan beberapa wartawan yang juga mengunjungi sebagai biaya perawatan.

Tentang Pusat Dokumentasi HB Jassin, sampai sekarang kita lebih akrab dengan kisah sedih daripada cerita kebanggan. Dari terbatasnya anggaran perawatan, secuilnya pengunjung, sampai minimnya kesejahteraan pegawai, semuanya bertaut untuk menimbun Jassin dalam Kuburnya bersama seribu kisahnya. Kisah sang Paus Sastra, Pria pemalu, yang karyanya memerahkan telinga Ulama.

Oleh : Faizal Adi Surya, tinggal di Sikasur, Belik.

Artikel Lainnya