ajibpol
SEJARAH KITA

Jejak Sejarah Pangeran Purbaya “Banteng Mataram” di Pemalang

Purbaya meloncat dari kudanya. Secepat kilat kedua kakinya telah memasang kuda-kuda. Ia menempelkan kedua tangannya didepan dadanya seperti orang menyembah. Ia sedang mengerahkan seluruh energi ilmu andalannya untuk digabungkan menjadi ilmu pamungkasnya. Ia sadar, bahwa ilmu lawan tandingnya sekarang kelihatan lebih berlipat ganda secara mengejutkan. Begitu seluruh energi ilmunya telah menyatu dalam satu kekuatan, ia menggeram, mendorong kedua telapak tangannya ke arah Peselingsingan yang sedari tadi sudah lebih dulu mengeluarkan jurus anginnya.

Semua bala pasukan dari dua kubu hanya menyaksikan dari kejauhan dengan wajah tegang. Mereka sadar pertarungan habis-habisan ini sudah menjadi ajang adu ilmu kanuragan yang tak biasa lagi. Keduanya sudah bertarung dengan mengerahkan seluruh ilmu dan aji pamungkasnya. Hidup dan mati sudah menjadi ketentuan mereka dalam pertarungan ini.

Glendung !!!

Taaar…!

Suara-suara seperti petir dan ledakan dahsyat terus menggelegar mengguncang langit dan bumi hutan jati itu. Terlihat mereka berdua nampak sama-sama terdorong kebelakang. Meski hanya beberapa langkah, tapi gerakan kakinya sempoyongan. Dari mulut Paselingsingan mengalir darah segar. Purbaya sendiri terhuyung-huyung membungkuk kesakitan sambil memegang dadanya. Dengan tertatih-tatih, mereka berdiri saling pukul, saling tendang dan seterusnya dari siang hingga matahari terbenam. Mereka terus bertarung dan tidak mau berhenti. Sesekali mereka nampak terjatuh, tersungkur di tanah secara bergantian. Dengan tertatih-tatih, mereka mencoba bangun lagi, tapi ambruk lagi. Matanya saling tatap dan saling menuding.

Baca Juga :  Soekarno dan PKI

“Kau memang hebat Pangeran!”

“Kau sungguh luar biasa Kisanak,” jawab purbaya dengan suara parau menahan sakit.

Keduanya terkapar tak berdaya. Beberapa orang dari kubu masing-masing mencoba melerai dan menolongnya. Tapi kedua kesatria itu menolaknya. Keduanya masih berusaha bangkit dan menyerang, tapi luka ditubuhnya sudah tak kuat menahan beban tubuhnya.

Berhenti!!!

Kata seorang lelaki paruh baya yang datang tiba-tiba dari balik kegelapan.

“Sudah, sudah berhenti sampai disini saja pertarungan ini”, katanya sambil tergopoh berjongkok ditengah, diantara dua tubuh kesatria yang terkapar di atas tanah. Kedua tangannya memegang pundak keduanya. Kedua kesatria itu nampak mengangkat kepala dan kedua bola matanya memandang lelaki yang suaranya terdengar begitu berwibawa.

Tujuh hari lalu, salah seorang penasehat Paselingsingan telah mengutus prajurit terbaiknya untuk melaporkan peristiwa ini kepada Sultan Cirebon. Mendengar pertarungan yang sama kuat dan tak kunjung usai, Sultan Girilaya mengutus menantunya Elang Sutawijaya menyusulnya ke medan tempur untuk melerainya.

Astagfirullahaladzim

Elang Sutawijaya merasa datangnya terlambat melihat keadaan keduanya. Meskipun ia datang pada waktu yang tepat. Dia tidak menyangka bahwa mereka sudah bertatarung kembali. Sebab menurut laporan yang diterima, lima hari lalu, pertarungan mereka berhenti karena masing-masing mengalami luka parah.

Baca Juga :  Karomah Mbah Nur Walangsanga

“Kalian ke sini. Baringkan mereka dengan diatas tikar atau apa saja yang kalian punya”, pinta Elang Sutawijaya kepad kedua pasukan yang berkerumun agak jauh darinya. Dengan sigap dan cepat prajurit dari kedua belah pihak bersatu padu menyiapkan apa yang diminta Elang Sutawijaya. Hanya dalam beberapa hitungan nafas, Pangferan Purbaya dan Paselingsingan sudah berada diatas tikar.

“Bawa air kendi itu kemari”, pintanya kemudian. Elang Sutawijaya memegang kendi berisi air putih yang tadi diminta dari salah seorang abdi dalem, sambil mulutnya berkomat kamit membaca doa. Baik Purbaya maupun Paselingsingan, oleh Elang Sutawijaya disuapi minuman air kendi itu. Setelah beberapa saat, dia duduk bersila diantara kedua kesatria yang tubuhnya terluka dan lemas lunglai tak berdaya.

“ Wahai Pangeran Purbaya dan Paselingsingan. Sudahlah, jangan kalian teruskan pertarangan ini. Cobalah berdamai dengan diri sendiri masing-masing. Sudah berapa lama pertarungan ini berlangsung ?”, tanyanya.

“ Kita akhiri saja dengan damai. Karena peperangan ini sudah cukup lama,  dan rakyat membutuhkan kita. Kalau perang tidak segera diakhiri, kapan kita akan mengabdi dan mengurus rakyat ?”, tegasnya dengan suara datar dan penuh rasa cinta kasih.

1 2 3 4 5

Artikel Lainnya