Sorot matanya yang tajam, tiba-tiba berhenti pada satu titik dimana ada satu benda yang tergeletak di dapur. Ya, benda itu adalah kelapa muda yang di simpan Ki Ageng Giring. Rasa haus yang ditahan sejak dalam perjalanan, mematri pandangannya. Matanya tak mau berpaling dari kelapa muda yang seolah menari-nari memanggilnya. Hijau kulit kelapa muda yang mengkilau, angannya menerawang jauh. Tatapan matanya menembus pada batok kelapa hijau itu, didalamnya, ada berbalut lendir-lendir kelapa muda yang menggoda selera. Seketika itu, kelapa muda itu sudah berada di tangan Ki Ageng Pemanahan. Rasa dahaga yang mengeringkan tenggorokannya, telah menjadikannya tidak berfikir panjang. Dan air kelapa muda itu, pun langsung diminum dalam sekali teguk. Rasa haus luar biasa yang terasa hingga kedalam tulang-belulang, kini telah sirna. Sebutir air kelapa muda yang ia teguk, kini seperti menjadi embun yang menusup kesekujur pori-pori tubuhnya. Sambil menunggu tuan rumah, ia mencoba berbaring dilincak tua yang letaknya tak jauh dari pintu.
Hari telah melewat lingsir Ki Ageng Giring segeran bertandang pulang. Dari jauh Ki Ageng Giring melihat samar-samar pintu rumahnya terbuka. Sinar matahari yang tegak lurus seperti memaku bumi dan panasnya yang menyengat seluruh pori-pori kulitnya, rongga mulutnya yang kian kering kerontang, membuat pandangan matanya kadang seperti berkunang. Kaki-kaki kekarnya terus bergegas melintasi semak belukar. Ia ingin segera sampai dan melihat siapa gerangan yang ada dirumahnya. Ia dapat melihat dengan jelas bahwa pintu rumahnya memang benar-benar telah terbuka. Di lorong pintu masuk, seonggok bayangan hitam seseorang itu nampak telentang sedemikian rupa diatas lincak sehingga tak tampak jelas itu siapa.
“ Oh, kakang Giring sudah Pulang,”
“ Adik Pemanahan, oh… saya pikir siapa ? Sudah lama menunggu dimas ?,” tanya Ki Ageng Giring seraya merangkul sahabatnya.
“ Sakwetawis kakang, sudah lama saya tidak sowan”.
Tiba-tiba pandangan mata Ki Ageng Giring kembali terlempar ke arah batok kelapa muda yang tadi tersampar. Ki Ageng Giring terdiam lalu memandangi Ki Ageng Pemanahan dengan matanya meotot ke sebelah. Mereka saling berpandangan, dan Ki Ageng Pemanahan sedikit terganggu dengan mata Ki Ageng Giring yang seperti menusuknya dengan tajam. Ki Ageng Pemanahan tersipu, tetapi Ki Ageng Giring malah mengerutkan keningnya sehingga ujung-ujung alisnya bertemu. Alis tebalnya seperti ular yang siap mematuknya.
“ Oh, maaf kakang, aku telah lancang mengambil dawegan itu. Saya benar-benar haus, jadi saya minum dawegan itu kangmas. Nyadong duko kakang, jika hal itu tak berkenan” kata Pemanahan, sambil mengerutkan wajah penyesalannya.
Ki Ageng Giring masih terdiam. Ia berjalan membalikan badannya yang masih bercucur keringat membelakangi Pemanahan. Di depan batok kelapa muda, kakinya berhenti. Sambil jongkok, ia memegang tepes kelapa yang serabutnya berserak. Kepalanya menengadah ke arah langit-langit rumahnya dengan tangan bergetar, kemudian tertunduk dengan dengan wajah lesu dan muram. Pemanahan berdiri mematung dengan wajah masih terheran-heran tak percaya. “Tidak biasanya Kakang Giring bersikap begini, ada apa dengan buah kelapa itu?”.
Wajah Ki Ageng Giring memerah, mulut dan tangannya bergetar memendam rasa yang tak terungkapkan. Sebagai seorang kesatria pinunggul, ia berusaha untuk mengungkapkan dan menghadapi kenyataan yang ada dengan cara lebih bijaksana. Ia mencoba menenangkan diri dengan jiwa sumeleh. Dengan mengembalikan semua peristiwa ini kepadaNya. Betapapun ia menginginkan wahyu itu jatuh kepada dirinya, jika takdir menghendaki lain, maka harus diterimanya sebagai suratan. Inilah garis tangan yang harus dilakoni dengan ikhlas.
“Sekali lagi, mohon maaf kakang, ada apa sebenarnya dengan dawegan itu”. Kata Pemanahan terbata-bata.
“Sungguh Ketiwasan Adi, ini ketiwasan,” sela Ki Ageng Giring dengan suara serak.
“Sebenarnya” kata ki Ageng Giring dengan nada berat dan kemudian berhenti sejenak sambil menghela nafas. “Sebenarnya degan itu bukan degan biasa. Degan itu merupakan bagian dari wahyu yang aku terima dari laku panjang tapa brataku selama ini. Aku sebut bagian dari wahyu karena degan itu akan membuka jalan kemuliaan bagi anak cucuku kelak,” jelasnya. Suara Ki Ageng giring tiba-tiba menjadi lirih dan sedikit terbata.
“Tapi, mungkin ini sudah menjadi Titahing Gusti. Mau bagaimana lagi ?,” jelasnya, sambil menengok ke arah Pemanahan. Sorot matanya masih seperti menghujam dengan seribu warna raut kecewa. Pemanahan yang masih berdiri disebelahnya, seperti kelu lidah dan tak mampu merangkai kata.
“ Maaf, sekali lagi saya minta maaf kakang. Sungguh saya tidak mengetahuinya”.
“ Sudah Menjadi takdirmu dimas. Kelak kau bakal memiliki keturunan yang akan memimpin di tanah Jawa ini,” lanjut Ki Ageng Giring, sambil mengambil tempat duduk di sebuah tikar yang digelarnya. Ki Ageng Pemanahan pun turut bersila di depannya.
“ Adiku Ki Ageng Pemanahan”
“Aku ajukan satu permintaan kepadamu. Dan ini akan jadi permintaan terakhirku”, ungkap Ki Ageng Giring sambil memegang kaki Pemanahan dengan wajah penuh harap.
“ Apa itu kangmas Giring. Katakanlah, katakan saja apa itu. Dan, mengapa harus menanyakan kalau saya tidak keberatan ? Hampir separoh hidup kita dilalui bersama, ingat itu kangmas”.
Ki Ageng Giring berdiri dan berjalan menghampiri pintu jendela. Di bukanya jendela itu pelan-pelan. Matanya menerawang jauh ke arah hutan belantara dengan wajah masih dirundung kecewa. Di Gubug tempat tinggalnya saat ini belum ada rumah lain. Ia melihat matahari tiba-tiba telah dibungkus mega. Ada mendung yang telah menyelimuti pepohonan. Ki Ageng Pemanahan sendiri, mulutnya seperti terkunci. Ia hanya sedang menunggu apa yang hendak dikatakan sahabatnya.
“ Jika ada kelegaan hati, saya mohon berbagi kamulyan”.
“Maksudnya?”
Setelah ke tujuh turunanmu, saya mohon diberikan kesempatan agar anak cucuku bisa gantian nunut mukti,” pintanya, sambil membalikan badan.
Ki Ageng Pemanahan mengangkat kepalanya, menatap Ki Ageng Giring seperti tak percaya mendengar permintaannya. Namun rasa risih yang sedari tadi mengganggu benak kepalanya seketika sirna. Hatinya lega ketika mendengar permintaan Ki Ageng Giring. Karena disatu sisi, permintaan itu memberi jalan keluar terhadap suasana batinnya yang sedari tadi dihinggapi rasa bersalah. Hanya sejenak, kemudian ia berdiri mendekati Ki Ageng Giring.
“Kangmas”
“Jika ini memang sudah jadi pepesthen. Sudah jadi jalan hidup yang ditentukanNya, saya mohon, jauhkan saya dari anggapan sebagai orang yang telah menjadi penghalang. Apalagi merebut kemuliaan anak cucumu kelak. Aku rela, aku ikhlas dengan permintaan itu”, sahut Pemanahan mencoba meyakinkan dan penuh harap.
“ Baiklah, jika itu benar. Saya minta kesepakatan ini dibuktikan dengan adanya ikatan yang nyata. Ikatan yang akan menjamin tersampaikannya pesan ini kepada anak cucu kita. Ikatan yang bisa menjadi pengingat bagi anak cucu kita, bahwa diantara kita memiliki ikatan perjanjian yang harus dipegang teguh dan dijunjung tinggi. Ikatan yang akan memberikan jaminan bahwa diantara anak cucu kita akan menjadikan ikatan itu sebagai suatu keniscayaan yang melekat dan tidak bisa dipungkiri serta sebagai jalan hidup yang harus diterimanya sebagai takdir yang tinulis”.
“ Kakang Giring meragukan saya ?”
“ Tidak… Saya tidak pernah meragukanmu. Tapi kesepakatan ini akan bekerja dalam waktu yang cukup lama. Butuh tujuh generasi. Setidaknya, akan butuh tiga abad yang harus dilampauinya”, tukas Ki Ageng Giring.
“ Dik, saya harus pasrah dan memupus takdir ini. Mungkin Tuhan semesta alam memang telah memilihmu untuk menjadi ayah bagi raja-raja tanah Jawa. Tapi jangan lupa, ada saya yang menjadi pintu dan jalan yang saya kira juga sebagai pesan dari Yang Maha Kuasa untuk kita maknai secara bijaksana dan tepat”.
“ Saya mengerti dan memahami itu kangmas. Lalu apa jalan tengah yang bisa menjawab semua itu kangmas ?”
“ Cucu kita”
“Maksud Kakang ?”
“ Ya, yang akan menjamin dan menjaga perjanjian ini adalah cucu kita. Cucu yang lahir dan ditubuhnya mengalir darah kita sendiri. Darah kita, bukan hanya darahku atau darahmu saja”.
“ Oh, saya mengerti maksudnya. Jika itu yang terbaik, maka baiklah kakang. Saya setuju. Dan sekarang juga, dengan ini saya melamar putrimu Roro Rembayung, untuk menjadi pendamping hidup puraku Danang Sutawijaya,” jawabnya mengakhiri perdebatan itu.
Entah siapa yang memulai, keduanya dengan sekedip mata telah berpelukan. Dibalik pelukan tangan keduanya, setengah muka Pemanahan menempel dipundaknya Ki Ageng Giring. Pemanahan yang badannya lebih pendek, tak menghiraukan basah peluh yang membanjiri baju Ki Ageng Giring menyeka muka sebatas bawah kedua kelopak matanya. Keduanya saling maklum dan terdengar saling memaafkan. “Maaf, Terima kasih, Terimakasih”.