ajibpol
SEJARAH KITA

Jejak Sejarah Pangeran Purbaya “Banteng Mataram” di Pemalang

“ Ngger anaku”, kata ibunya tiba-tiba memanggil namanya. Sambil memngusap kepalanya, “ Kesepakat kedua eyangmu itu, kemudian diberi nama Perjanjian Giring”, katanya sambil menarik kepalanya dan disandarkan didadanya. Mengingat saat-saat itu, dalam pembaringannya, bibir Pangeran Purbaya nampak sedikit bergerak mengulum senyum. Dan entah mengapa, malam ini ia seperti dapat merasakan kembali tangan belaian tangan dengan penuh kasih ibunya. Sebuah belaian cinta yang dapat memberi kekuatan tersendiri, bisa mengurangi rasa sakit yang merayap diseluruh pembuluh sendi tubuhnya.

Diam-diam, tutur ibunya melanjutkan, rupanya Ki eyang giring tidak bisa melupakan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya perjanjian giring itu. Menurut ibunya, suatu ketika sedang duduk sendirian, Eyang Giring kedapatan mengucapkan kalimat “ mengapa Ki Ageng Pemanahan yang harus meminum kelapa itu,” katanya seperti bertanya kepada dirinya sendiri, lirih.

Sejak itu, eyang Giring lebih banyak terdiam. Eyang Giring lebih banyak merenung dan mupus takdir di pinggir sungai, yang kini dikenal dengan nama Kali Gowang. Nama Kali Gowang diambil dari kisah eyang Giring yang hatinya lagi terlukakarena gagal memperoleh wahyu Mataram. Kesehatannya mulai rapuh, Ki Ageng Giring mulai sakit-sakitan, tak lama kemudian mangkat dan dimakamkan di dekat rumah.

Baca Juga :  Sejarah, Asal-Usul Nama Desa Gombong, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang

Perjodohan yang dibangun tanpa cinta itupun terjadi. Berbekal titah sang Raja yang juga perintah ayahnya, maka Raden Sutawijaya tidak cukup memiliki alasan dan kekuatan untuk menolaknya. Ia kemudian melakoninya, mempersunting Putri Giring atau Roro Rembayung sebagai istrinya.

 Banyaknya perbedaan prinsip dan cara pandang pasangan itu  berujung pada perpisahan. Saat Roro Rembayung sedang mengandung, Sutawijaya harus meninggalkannnya dan pulang ke Mataram karena ayahnya, Sultan Hadiwijaya tutup usia. Dan itu berarti harus ada raja pengganti. Sebagai putra mahkota, Danang Sutawijaya akan menggantikan ayahnya sebagai raja Mataram.

Disinilah kemudian, ditengarai menjadi satu drama yang disusun oleh Sutawijaya untuk menyingkirkan Roro Rembayung dengan tidak mengajaknya pulang ke Mataram. Namun Sutawijaya tidak mau

memboyong istrinya ke mataram dan tidak menjadikannya istri permaisuri. Sebelum pergi, Danang Sutawijaya meninggalkan sebuah pusaka atau keris telanjang.

Sampai disini, Pangeran Purbaya ingatannya berhenti. Ia merintih menangis menahan sakit hati meningat ibunya yang harus menjadi tumbal pengakuan dirinya dari ayah kandungnya dan  rajanya, Panembahan Senopati. Menahan Sakit raganya yang kian rapuh, Pangeran Purbaya akhirnya wafat. Ia dimakamkan bersama dengan lawan tandingnya Paselingsingan di tempat itu, di Desa Surajaya.

Baca Juga :  Misteri Penampakan Kobaran Api Pertunjukan Wayang Kulit di Kawasan Usaha PT. Aneka Usaha Pemalang

Di tempat berbeda, Purbaya diketahui meninggal pada bulan Oktober 1676, saat ikut serta menghadapi pemberontakan Trunajaya. Kala itu, Amangkurat I mengirim pasukan besar yang dipimpin putranya-Adipati Anom, untuk menghancurkan desa Demung (dekat Besuki) yang merupakan markas orang-orang Makasar sekutu Trunajaya. Perang besar terjadi di desa Gogodog. Pangeran Purbaya yang sudah lanjut usia gugur akibat dikeroyok orang-orang Makasar dan Madura.

 

 

1 2 3 4 5

Artikel Lainnya